Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alja Yusnadi
Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi Pertanian IPB University

Peminat isu agribisnis, ekonomi-politik, sosial.

Membangun Hubungan yang Setangkup Pusat dan Daerah

Kompas.com - 22/12/2022, 10:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

NAMPAKNYA, amarah Bupati Kepulauan Meranti M Adil kepada pemerintah pusat sudah sampai di ubun-ubun. Dia sampai menyebut, apakah Kementerian Keuangan diisi iblis atau setan?

Hal itu disampaikannya di dalam pertemuan yang dihadiri Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, serta kepala daerah.

Apa yang membuat Adil begitu marah? Persoalannya Anda sudah tahu: mengenai bagi hasil minyak bumi. Pernyataan Adil itu memecah keheningan hubungan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.

Pernyataan Bupati Meranti direspons banyak pihak, mulai dari anggota DPR, Kementerian Keuangan, sampai Kementerian Dalam Negeri. Apa yang bisa kita pelajari dari kasus Meranti itu?

Sebenarnya, apa yang terjadi di Meranti bukan hal baru, dialami oleh banyak daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak dan gas.

Setidaknya, dari kasus Meranti kita dapat membaca dua hal: Pertama, hubungan yang tidak setangkup antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (selanjutnya saya menyebutnya pusat dan daerah). Kedua, kemiskinan di daerah penghasil sumber daya alam.

Hubungan pusat dan daerah ini memang jatuh bangun, kembang kempis. Pada masa orde baru, sistem pemerintahan sangat sentralitik. Semua berasal dari pusat.

Pada fase ini kreatifitas dan keberagaman daerah mati suri, atau lebih tepatnya dimatikan, semua hendak diseragamkan.

Misalnya saja penyebutan desa, padahal masing-masing daerah memiliki nama tersendiri, semisal Gampong di Aceh, Nagari di Sumatera Barat, dan beberapa penyebutan lain.

Upaya penyeragaman itu bukan hanya dari penyebutan istilah, namun juga penyusunan program. Pusat seolah-olah yang paling mengetahui kebutuhan daerah.

Pusat juga yang mengatur banyak hal, termasuk menunjuk siapa yang akan menjadi kepala daerah. Pada masa ini, belum ada konsep bagi hasil terhadap pengelolaan sumber daya alam.

Setelah reformasi, semangat desentralisasi mulai menguat. Mulai dari gagasan, sampai merumuskan perangkat aturan.

Perbincangan mengenai ketimpangan ekonomi salah satunya disebabkan oleh pengaturan yang sentralistik tadi. Pola tersebut terlalu monoton, terlalu kaku untuk Negara seluas dan seheterogen Indonesia.

Puncaknya, pada tahun 2004, Pemerintah bersama DPR merumuskan Undang-undang (UU) tentang Pemerintah Daerah dan UU tentang Perimbangan Keuangan Daerah.

Kedua aturan inilah yang menjadi titik tolak desentralisasi itu. Lahirlah UU No. 32 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 33 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Melalui UU 32/2004 ini, pusat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pemerintah daerah, baik itu provinsi maupun kabupaten/kota. Melalui aturan tersebut daerah diberikan ruang untuk mengurus beberapa hal secara mandiri, termasuk memilih kepala daerah.

Apa yang dipersoalkan Bupati Meranti itu menyangkut pengaturan yang ada di UU 33/ 2004 itu. Pasal 14 huruf e mengatur pembagian hasil pertambangan minyak bumi 85 persen untuk pusat dan 15 persen untuk daerah, yang terbagi 3 persen untuk provinsi yang bersangkutan, 6 persen untuk kabupaten penghasil (dalam hal ini Kabupaten Meranti), dan 6 persennya untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan.

Sejalan dengan dinamika politik, pemerintah sudah beberapa kali merevisi dan mencabut undang-undang yang mengatur desentralisasi, baik yang berkaitan dengan penataan politik-pemerintahan, maupun perimbangan keuangan. Semua perubahan itu, seharusnya menuju kepada perbaikan.

Terakhir, Pemerintah mencabut UU No 33/2004 dan menggantinya dengan Undang-undang No 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ada beberapa perubahan terkait dengan pembagian hasil minyak bumi.

Provinsi yang sebelumnya mendapat 3 persen berkurang menjadi 2 persen. Kabupaten/kota penghasil yang sebelumnya mendapat 6 persen naik menjadi 6,5 persen.

Kabupaten/kota dalam aturan terbaru ini dibagi menjadi dua model; yang berbatasan langsung dengan daerah penghasil mendapat 3 persen dan kabupaten/kota lainnya mendapat 3 persen. Sisanya 1 persen untuk kabupaten/kota pengolah.

Itu untuk minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sampai dengan 4 mil dari garis pantai.

Sementara itu, untuk minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah laut di atas 4 mil dari garis pantai sampai dengan 12 mil dari garis pantai ditetapkan 5 persen untuk provinsi penghasil, 9,5 persen untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan, dan 1 persen untuk kabupaten/kota pengolah. Dari dua skema tersebut, pusat tetap memiliki porsi yang paling besar.

Dalam bagi hasil, setidaknya ada dua hal yang menjadi perhatian serius. Pertama, mengenai angka, apa argumentasi logisnya pusat mendapat porsi yang sangat besar.

Kedua, bagaimana angka pembagian itu bisa diketahui oleh daerah. Selama ini, daerah hanya menerima saja konsekuensi dari pembagian itu, tanpa pernah tahu dari mana angka-angka persentase itu muncul.

Sebaiknya, selain perhitungan politis, penting juga melakukan pendekatan dialogis dan partisipatif.

Pusat harus melibatkan daerah dalam proses penyusunan regulasi itu, termasuk perhitungan persentase untuk daerah. Daerah harus mengetahui detail perhitungan pembagian itu. Jangan hanya menjadi “rahasia” Kementrian Keuangan saja.

Masalah berikutnya dari daerah penghasil sumber daya alam ini adalah kemiskinan. Lihat bagaimana kehidupan ekonomi masyarakat yang ada di daerah sekitar pertambangan. Sangat timpang, bukan hanya di Meranti, kebanyakan masyarakat di sekitar pertambangan hidupnya sangat memprihantinkan, miskin.

Penambangan sumber daya alam yang secara agregat dapat meningkatkan neraca perdagangan ternyata gagal dalam mensejahterakan kehidupan yang ada di sekitar pertambangan. Dalam hal ini dosanya bukan saja milik pusat, tapi juga daerah.

Berkaca dari peristiwa Meranti, pusat harus memikirkan dua hal: Pertama, bagaimana merumuskan angka bagi hasil yang lebih adil dengan daerah.

Kedua, merumuskan kebijakan untuk mempercepat pengurangan angka kemiskinan, mengurangi ketimpangan.

Selebihnya, bangunlah hubungan yang setangkup antara pusat dengan daerah, agar kasus Bupati Meranti tidak diikuti oleh Bupati dari Aceh, Papua, Nusa Tenggara, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, apalagi kalau sampai mengangkat senjata.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com