Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Noveri Maulana
Konsultan Bisnis dan Dosen di Sekolah Tinggi Manajemen PPM

Noveri dikenal sebagai Dosen Ilmu Manajemen dan Konsultan Bisnis Stratejik pada berbagai korporasi nasional.

Quite Quitting Vs Quite Firing: Sentimen Hubungan Manajerial di Dunia Kerja

Kompas.com - 27/04/2023, 09:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GONCANGAN krisis selepas pandemi COVID-19 sepertinya masih terus terasa. Tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan, namun pandemi yang tak berkesudahan ternyata meninggalkan bekas luka yang mendalam pada berbagai sektor industri dan dunia usaha.

Ragam kesulitan mulai dirasa para pengusaha, entah itu persoalan finansial, perubahan selera pasar, bahkan juga persoalan dengan karyawan yang turut menggerus kepercayaan.

Bahkan, para ekonom di Amerika sudah mewanti-wanti akan terjadinya “great resignation”, gelombang pemutusan hubungan kerja akibat berbagai dampak panjang dari pandemi ini.

Sejatinya, pemutusan hubungan kerja, baik dari pihak pekerja secara sukarela maupun permintaan pihak pemberi kerja, adalah suatu hal lumrah di dunia bisnis.

Bahkan, sederet aturan dan regulasi negara sudah mengatur proses pemutusan hubungan kerja tersebut.

Tentu, tiap keputusan ada konsekuensi yang harus dijalankan, tanpa menggerus hak dan kewajiban. Namun, akan jadi persoalan jika salah satu pihak mulai menggunakan strategi senyap (quite) untuk mengikis hubungan kerja yang telah terbangun.

Tak ayal, kita dihadapkan pada fenomena quite quitting dan quite firing yang menjadi sentiment berbahaya dalam hubungan manajerial di dunia kerja.

Istilah quite quitting kembali mengemuka sejak pertengahan tahun lalu, ketika seorang konten kreator asal Newyork, Zaid Khan, menggunggah topik ini pada akun Tiktoknya @zaidleppelin.

Dalam unggahannya yang viral itu, Zaid mengemukakan terkait fenomena quite quitting yang banyak melanda generasi Z di Amerika karena tuntutan pekerjaan yang tak sebanding dengan kesehatan mental mereka.

Menurut dia, problematika antara keseimbangan kehidupan personal dan kehidupan pekerjaan menjadi polemik karyawan muda di perkotaan yang sangat peduli pada konsep work-life balance yang ideal.

Setahun sebelumnya pada medio 2021, hal serupa juga merebak di tengah pekerja muda di China yang juga menyuarakan gerakan “Tang Ping”, yang bisa diartikan secara sederhana dengan “berbaring datar”.

Maksudnya, para pekerja muda ini menyuarakan kalau tuntutan pekerjaan yang tinggi tidak sebanding dengan gaji dan imbal jasa yang mereka terima.

Sehingga, konsep tang ping disuarakan, senada dengan nilai yang diusung oleh penggerak quite quitting yang telah lebih dulu mengemuka.

Dalam dunia ekonomi dan bisnis, istilah quite quitting bukanlah hal baru karena topik ini pertama kali mencuat sejak lebih dari satu dekade silam.

Adalah Mark Boldger, seorang ekonom kenamaan Amerika, secara tak langsung mengemukakan istilah quite quitting ini pada gelaran Texas A&M Economic Symposium tahun 2009.

Istilah itu diungkapkan untuk menggambarkan kondisi menurunnya semangat kerja para buruh di Amerika Selatan yang tak lagi melihat kesamaan visi dengan sistem ekonomi dan manajemen yang dijalankan oleh pimpinan perusahaan.

Sehingga gerakan quite quitting bukan saja tuntutan work-life balance semata, namun lebih mengarah pada persoalan fundamental terkait sentimen hubungan antara atasan dan bawahan, antara pimpinan dan karyawan, mengenai kesepakatan kerja bersama demi menunjang kinerja perusahaan yang baik.

Apalagi kondisi selepas pandemi COVID-19 membuat dinamika dunia kerja cukup berubah signifikan, bahkan menggerus rutinitas yang ada.

Pola kerja jarak jauh dengan mengusung konsep work from home (WFH) selama pandemi, kini harus kembali berubah menjadi kerja di kantor atau work from office (WFO).

Isu kesehatan mental semakin mencuat, stres pada tuntutan kerja ditambah fisik yang lelah karena perjalanan pulang pergi ke kantor menambah rumit kondisi mental para pekerja pascapandemi.

Alhasil, performa terbaik yang hendak ditampilkan, berubah menjadi tanggung jawab seadanya, menggunakan standar minimum sesuai dengan batas bawah target kinerja yang diberikan.

Key performance indicator (KPI) tak lagi menjadi pondasi untuk memberikan performa terbaik, tapi KPI dijadikan sebagai batas atas maksimum untuk bekerja.

Tak ada lagi karyawan teladan yang mau memberikan sumbangsih lebih dari yang diminta perusahaan, bahkan tak sedikit karyawan yang mencoba mengedepankan hitung-hitungan sengit atas tiap aktivitas kerja yang dilakukan demi menjaga performa terbaik perusahaan.

Quite quitting tak hanya menjadi strategi karyawan untuk memberikan performa seadanya dan pelan-pelan berhenti bekerja di saat yang tepat.

Namun, quite quitting juga sebagai pesan bahwa iklim kerja sudah tak kondusif, hubungan manajerial sudah ternoda, sehingga perlu duduk tenang mencari solusi bersama.

Namun, terkadang fenomena ini dipandang sebagai sebuah gerakan tak sejalan dengan visi perusahaan, sehingga tak sedikit manajemen juga membalas dengan aksi quite firing, mendesak pekerja untuk memberikan performa seadanya sehingga mereka merasa terpojok dan mengundurkan diri secara sukarela.

Kedua fenomena ini sejatinya bukanlah praktik manajemen yang baik untuk menunjang visi organisasi perusahaan yang ideal.

Baik quite quitting maupun quite firing membawa konsekuensi jangka panjang bagi strategi manajerial perusahaan.

Quite quitting akan melanggengkan performa kerja seadanya sehingga karyawan tak lagi menjadi aset berharga perusahaan.

Sedangkan quite firing akan menimbulkan gejolak sinis di tengah kaum pekerja, memandang pimpinan tak beretika dalam menangani hubungan dengan bawahan.

Sudah saatnya budaya kerja kembali menjadi perhatian bersama. Standar kerja yang telah disepakati dan dijalani sebelum pandemi, harus dievaluasi kembali dengan konteks kekinian yang lebih dinamis.

Tak ada solusi yang tak bisa didapatkan, jika dua kubu tak dijembatani oleh kepemimpinan yang bijaksana.

Jangan sampai Quite quitting atau quite firing dijadikan aksi gerilya untuk mencapai agresi salah satu pihak atas kubu yang berseberangan.

Bukankah tujuan organisasi bisnis untuk mencapai visi bersama? Maka, perlu peran semua pihak untuk mencari jalan keluarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com