Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Pinjol dan Masa Depan Generasi Muda Kita

Kompas.com - 03/06/2023, 13:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dengan kata lain, fintech pinjol justru menambah ketidakpastian ekonomi yang dialami oleh generasi muda kita, karena penghasilan masa depan mereka telah dijaminkan untuk memenuhi segala kebutuhan gaya hidup dan kebutuhan berkategori "leisure".

Bahkan bisa didapat oleh generasi muda dengan penghasilan "pas-pasan" atau setara dengan upah minimum regional (UMR).

Jadi sekalipun tingkat macet yang dialami fintech masih terbilang "tolerable" secara keuangan, tapi risikonya terhadap generasi muda sangat fatal.

Meski begitu, merujuk data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ditunjukkan bahwa memang tingkat kredit macet Pinjol dialami oleh segmen generasi muda.

Dengan kata lain, Generasi Z dan milenial dengan rentang usia 19-34 tahun mendominasi kredit macet pada pinjaman online (pinjol) fintech lending.

Berdasarkan data Statistik Fintech Lending periode November 2022 yang diterbitkan oleh OJK pada 3 Januari 2023, nilai kredit macet dengan tunggakan di atas 90 hari rentang usia 19–34 tahun mencapai Rp 766,40 miliar atau berkontribusi 53,9 persen pada total kredit macet yang dialami pinjol.

Sementara itu untuk nasabah dengan rentang usia 35–54 tahun mencatatkan outstanding pinjaman macet sebesar Rp 417,55 miliar dan nasabah di atas 54 tahun sebesar Rp 26,30 miliar, serta nasabah dengan usia di bawah 19 tahun mencatatkan kredit macet sebesar Rp 1,71 miliar.

Adapun secara total, outstanding pinjaman fintech lending per November 2022 tercatat sebesar Rp 50,29 triliun yang terdiri dari perorangan sebesar Rp 42,89 triliun dan badan usaha Rp 7,4 triliun.

Menurut OJK, tingkat keberhasilan bayar atau TKB90 industri fintech lending naik menjadi sebesar 97,17 persen.

TKB90 adalah ukuran tingkat keberhasilan Perusahaan Fintech Pendanaan Bersama dalam memfasilitasi penyelesaian kewajiban Pendanaan dalam jangka waktu sampai dengan 90 hari terhitung sejak jatuh tempo.

Di sisi lain, tingkat wanprestasi (TWP90) atau kredit macet pada level 2,83 persen.

Jadi seperti yang saya sampaikan di atas, rendahnya tingkat wanprestasi hanyalah satu indikator yang hanya bermanfaat untuk perusahaan fintech dan sektor keuangan secara keseluruhan, tapi memberikan risiko lanjutan kepada para peminjam generasi muda yang menggunakan pinjaman online untuk aktifitas konsumsi, bukan aktifitas produktif.

Semakin baik tingkat pembayaran kembali para peminjam generasi muda berarti semakin konsisten sebagian pendapatan mereka digunakan untuk membiayai cicilan dan bunga kredit dari perusahaan pinjol.

Arti lainnya, semakin berkurang porsi pendapatan generasi muda yang bisa mereka gunakan untuk mempersiapkan masa depan mereka, baik untuk membeli aset keras berupa tempat tinggal, biaya pernikahan, tabungan hari tua, asuransi dan lain-lain.

Menurut OJK, terdapat beberapa sebab mengapa Pinjol semakin masif melakukan penetrasi pasar kepada kalangan generasi muda.

Pertama, kemudahan teknologi pinjaman digital (fintech pendanaan bersama, paylater,dan lain-lain) yang membuat pengajuan pinjaman semakin mudah mengakses.

Kedua, adanya aplikasi belanja yang terhubung ke layanan paylater milik fintech (ecommerce, aplikasi pemesanan tiket, makanan, dan lain-lain) yang membuat aktivitas belanja dan berwisata semakin mudah dilakukan, sekalipun sebenarnya tidak didukung oleh liabilitas yang layak.

Ketiga, masih menurut OJK, generasi Milenial dan Gen Z berusia produktif, meskipun memilki pendapatan yang cukup, namun kebiasaan berhutang bisa muncul karena memliki gaya hidup yang komsumtif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com