Dan keempat, masih bayak generasi muda yang tidak memiliki literasi keuangan yang baik. Akibatnya, mereka cenderung melupakan signifikansi aktifitas menabung atau berinvestasi, sehingga menggunakan produk pinjaman secara tidak bijak.
Lalu masalah lain yang kurang diwaspadai oleh generasi muda dari fintech pinjol adalah soal bunga pinjaman.
Segala kemudahan yang ditawarkan perusahaan pinjol berbanding lurus dengan tingginya bunga pinjaman yang mereka kenakan. Tingkat bunga pinjaman tersebut bisa sekian kali lipat dibanding kredit konvensional perbankan.
Rerata suku bunga pinjaman perbankan berkisar antara 12 persen sampai 15 persen per tahun, dengan suku bunga deposito sekitar 6-8 persen.
Sementara pinjol bisa berlipat-lipat dari itu, bahkan bisa berkisar 50 persen sampai 80 persen setahun.
Jadi saat peminjam dari generasi muda yang meminjam sekitar Rp 2 juta ke salah satu perusahaan pinjol akan mengembalikan sebesar Rp 3 juta - Rp 3,6 juta.
Artinya, perusahaan pinjol mengekstraksi Rp 1 juta - Rp 1,6 juta dari dana Rp 2 juta yang telah dipakai oleh generasi muda sebagai pinjaman.
Kalkulasi ini belum termasuk denda telat membayar dan bunga berlipat yang dikenakan jika peminjam wanprestasi.
Dalam konteks ini, tak heran banyak ditemui kasus jumlah tagihan membengkak berlipat-lipat, karena peminjam wanprestasi.
Beban dari kasus semacam ini bahkan semakin berat karena harus berhadapan dengan ancaman verbal online dari perwakilan penagih atau ancaman verbal langsung dari para debt collector yang datang ke alamat peminjam.
Menurut sebagian pakar dan ekonom, hal tersebut terbilang lumrah karena suku bunga tinggi berbanding lurus dengan tingkat risiko yang dimiliki oleh perusahaan pinjol.
Namun meskipun begitu, "A lower interest rate doesn't make a debt go away", kata Dave Ramsey.
Apalagi, dari kacamata risiko sosial dan generasional yang mereka bawa, segala kelebihan dan kelemahan pinjol justru merusak banyak generasi muda.
Pendeknya, Pinjol mengemas kredit mikro dalam kemasan menarik, tapi mengandung candu dan penyakit yang bisa merusak sendi-sendi masa depan ekonomi generasi muda.
Selain itu, ikut mendorong berkembangnya psikologi konsumtif generasi muda, menguatkan hasrat hidup malas tapi ingin membangun kesan sedang hidup berleha-leha (memiliki barang-barang bagus dan jalan-jalan saban waktu), dan menciptakan tingkat ketergantungan akut generasi muda kepada pembiayaan konsumtif pinjol secara berkelanjutan.
Fakta ini sungguh sangat mengkhawatirkan!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.