Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Mewaspadai Penjajahan Gaya Baru Lewat Aturan Anti-Deforestasi

Kompas.com - 01/07/2023, 06:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bahkan, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani dalam forum MSC 2023: Geopolitics of the Green Transition di Jerman Februari lalu, menyebut bahwa terdapat bahaya yang dapat timbul dari fenomena climate imperialism atau imperialisme iklim di dunia saat ini.

Climate imperialism, menurutnya, adalah penjajahan model baru di mana kebijakan iklim hanya didikte oleh beberapa negara tertentu saja.

Mengapa EUDR diskriminatif?

Meskipun bersifat pro-lingkungan, mengapa kebijakan EUDR ini diskriminatif khususnya bagi Indonesia?

Duta Besar Indonesia untuk Republik Federal Jerman Arif Havas Oegroseno mengatakan bahwa setidaknya terdapat enam alasan mengapa regulasi ini secara mendasar sangatlah bermasalah.

Pertama, regulasi ini mengatur dan mengkritisi secara tegas deforestasi yang terjadi di luar Uni Eropa, tanpa menyadari bahwa deforestasi juga terjadi di lingkungan negara-negara Uni Eropa tersebut.

Hal ini terjadi karena dana kampanye deforestasi Uni Eropa hanya menargetkan isu deforestasi di negara lain, sementara laporan JRC 2020 menyebut bahwa terdapat kegagalan oleh Uni Eropa dalam mengontrol clear-cut harvest pada tahun 2016-2018.

Uni Eropa dalam laporan Euractive, juga dinilai gagal dalam melindungi lingkungan lahan gambut mereka. Hal ini menjadi bukti bahwa deforestasi juga terjadi secara masif di Uni Eropa.

Kedua, komoditas yang menjadi target utama regulasi ini bukanlah produk asal Uni Eropa itu sendiri, sehingga meninggalkan kesan bahwa kebijakan ini bersifat proteksionisme.

Proteksionisme ekonomi pada dasarnya adalah kebijakan yang melindungi aktivitas ekonomi dalam negeri dan berlawanan dengan semangat kerja sama dan pasar bebas yang digemborkan Uni Eropa selama ini.

Ketiga, adanya sertifikasi geolokasi terhadap produk-produk tersebut yang datang dari luar Uni Eropa.

Uni Eropa mensyaratkan agar semua petani di komoditas yang diatur menyertakan data geolokasi lahan mereka tanpa ada jaminan hukum bahwa data mereka akan dilindungi, tidak dipublikasikan tanpa izin, tidak dijual ke pihak ketiga atau dapat menjaga agar tidak dicuri pihak ketiga.

Teknologi geolokasi yang rumit juga dinilai akan memberatkan biaya produksi bagi para pelaku industri kecil, khususnya dalam hal ini yang eksis di industri sawit nasional.

Keempat, regulasi EUDR bertentangan dengan Deklarasi Rio tahun 1992, di mana terdapat pemaksaan kepentingan politik Uni Eropa atas dasar keperluan proteksionisme dalam negeri ke negara lain.

Kelima, regulasi ini akan mengklasifikasikan risiko lingkungan dari komoditas suatu negara dalam tiga kategori: low risk, standard risk, dan high risk.

Terdapat ketidakjelasan penetapan klasifikasi sehingga ditakutkan akan menambah masalah bagi negara eksportir dalam pengaplikasiannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com