Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Mewaspadai Penjajahan Gaya Baru Lewat Aturan Anti-Deforestasi

Kompas.com - 01/07/2023, 06:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Keenam, kecilnya pendanaan yang memadai oleh Uni Eropa agar produk-produk yang disasar EUDR dapat masuk dengan mudah.

Dana bantuan Uni Eropa ke negara-negara Asia tersebut tercatat hanya 2,9 miliar Euro dan terbagi-bagi ke berbagai negara, jauh lebih kecil dari dana investasi yang masuk ke Indonesia saat Hannover Messe, yaitu sebesar 2 miliar Euro.

Di luar semua masalah yang telah dikemukakan tersebut, penulis menemukan bahwa terdapat masalah lain dari sisi audit, yaitu terkait independensi dari penegakan regulasi yang saat ini masih dipertanyakan kejelasannya terhadap Uni Eropa sebagai penggagasnya.

Wajah penjajahan gaya baru

Bila Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mendefinisikan fenomena yang terjadi saat ini sebagai climate imperialism, maka Duta Besar Indonesia untuk Jerman Arif Havas Oegroseno menyebut bahwa fenomena ini adalah sebuah imperialisme regulasi.

Uni Eropa sebagai otoritas supra nasional dapat mendikte dan memaksakan suatu standarnya sendiri terhadap negara lain.

Imperialisme dalam definisi yang kaku memang lekat dengan aktivitas kolonialisme atau penjajahan yang terjadi di masa lalu terhadap negara-negara miskin dan berkembang.

Uni Eropa sejatinya juga memang bukanlah organisasi yang pro terhadap penjajahan. Akan tetapi, kritik terhadap imperialisme yang dilakukan oleh Bangsa Eropa bukan berarti berakhir di saat zaman penjajahan telah usai.

Setidaknya, kebijakan EUDR ini mencerminkan sebuah penjajahan gaya baru seperti dalam tulisan Anu Bradford dalam buku “The Brussels Effect: How the European Union Rules the World”. Regulasi tersebut dibentuk untuk memaksakan kehendaknya sendiri demi melindungi neraca perdagangan Uni Eropa yang kembali defisit.

Di samping itu, banyak pelaku bisnis dunia yang menjadikan standar Uni Eropa sebagai standar global, tanpa menimbang tumpang tindih kepentingan yang dapat terjadi dengan negara-negara lain di luar Kawasan Eropa, khususnya di negara berkembang.

Standar regulasi Eropa inilah yang menjadi wajah penjajahan gaya baru, di mana penerapannya belum tentu linier dengan kepentingan berbagai negara yang masih terbelakang dan bermasalah dari sisi pertumbuhan ekonomi.

Negara-negara berkembang seakan tidak diberi ruang untuk keberlanjutan pembangunan ekonomi sesuai skenarionya masing-masing, demi mengikuti standar-standar ganda yang diterapkan Uni Eropa secara global.

Akibatnya, negara miskin dan berkembang harus menerima kenyataan bahwa negara majulah yang justru menghambat negara-negara lain untuk berkembang, demi kepentingan ekonomi negara-negara maju, khususnya di Eropa.

Terdapat beberapa skenario bagi Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan ini. LPPEM FEB UI misalnya, Juni lalu mengemukakan bahwa terdapat dua alternatif yang dapat dijadikan sebagai jalan keluar, yaitu lewat diplomasi dalam kerangka Indonesia-EU CEPA atau lewat narasi keberlanjutan dalam pembangunan industri sawit.

Meskipun regulasi EUDR ini memang berpotensi merugikan Indonesia, hal ini menjadi alarm bagi kita untuk mulai menyadari bahwa aspek kebijakan luar negeri yang diskriminatif dari segi ekonomi patut untuk diwaspadai pada masa yang akan datang, sebagai alat ampuh untuk menekan laju pertumbuhan negara-negara berkembang.

Wajah penjajahan gaya baru dalam makna filosofis di kasus ini bukanlah imperialisme dalam bentuk yang nyata seperti halnya yang terjadi di masa lalu. Namun dalam bentuk yang lebih modern di mana negara-negara lain harus tunduk pada standar tertentu yang diberlakukan oleh negara maju.

Dalam kasus EUDR, standar ini memang hanya menguntungkan Uni Eropa sebagai regulator dan tidaklah inklusif sama sekali dari sisi pertumbuhan ekonomi dunia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com