Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch N Kurniawan
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi Swiss German University | Praktisi Kehumasan | Mantan Jurnalis Energi, Lingkungan, Olahraga

Migas RI dalam Dunia yang Terus Bergejolak

Kompas.com - 14/07/2023, 08:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

VOLATILE, Uncertain, Complex, Ambiguous (VUCA) alias bergejolak, tak pasti, ruwet, dan ambigu atau multi-makna adalah gambaran dunia belakangan ini, yang semakin menjadi-jadi akibat pandemi Covid-19 (2019-2022), disusul konflik Rusia - Ukraina sejak 2022, serta kini 2023 perlambatan hingga resesi ekonomi dunia.

Dunia juga tengah menghadapi tantangan besar, yakni pemanasan global dan perubahan iklim. Dunia beritikad kuat membatasi agar temperatur bumi tidak naik 1,5 derajat Celcius, batas di mana jika terlewati akan menimbulkan dampak yang mematikan.

Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bumi saat ini sudah 1,1 derajat Celcius lebih hangat daripada suhu bumi pada akhir periode 1800-an dan emisi karbon terus naik.

Maka muncul-lah komitmen untuk net zero carbon emission (emisi karbon nol bersih) tahun 2050 - Indonesia menargetkan mencapai emisi karbon nol bersih tahun 2060 atau lebih awal. Tujuannya tidak lain untuk sustainability (keberlanjutan) kehidupan di bumi.

Namun dengan semakin seringnya terjadi gejolak, ketidakpastian, keruwetan dan ambiguitas di dunia, praktis langkah-langkah yang ditempuh berbagai sektor, termasuk industri hulu minyak dan gas bumi Indonesia dalam berkontribusi menangani pemanasan global dan perubahan iklim tidak akan mudah.

Transisi energi dan realita krisis energi Eropa

Uni Eropa termasuk berada di barisan terdepan dalam upaya mengganti energi fosil penghasil karbon seperti minyak, gas bumi, dan batu bara, menjadi energi baru terbarukan (EBT), misalnya surya, angin, air, dan biomassa.

Ini merupakan hal wajar, mengingat Uni Eropa menjadi negara maju berkat revolusi industri akhir abad ke-18 hingga awal ke-19, yang sekaligus menjadikan mereka salah satu penghasil emisi karbon terbesar di dunia hingga sekarang.

Kini mereka sudah seharusnya berada di depan untuk mengurangi emisi karbon di wilayahnya serta membantu negara-negara berkembang maupun miskin yang berjuang ekstra keras dalam mengendalikan emisi karbon.

Upaya yang dilakukan Uni Eropa untuk mendorong pemanfaatan EBT dapat dilihat dari data bauran energi di Uni Eropa tahun 2021.

Ketersediaan EBT menduduki posisi ketiga di Uni Eropa dengan porsi 17 persen, hanya tertinggal dari minyak dan gas bumi.

Energi dari produk minyak masih menduduki peringkat tertinggi sebesar 34 persen, lalu disusul gas bumi 23 persen. Sedangkan di bawah EBT, ada energi nuklir dengan 13 persen, dan energi fosil solid (batubara) 12 persen.

Meskipun EBT berkembang pesat, terlihat energi fosil migas masih memegang peranan sangat penting di Uni Eropa, yang sebagian besar masih diimpor, terutama dari Rusia.

Sehingga ketika perang Rusia dan Ukraina meletus sejak Februari 2022, yang berlanjut pada disrupsi pasokan gas dari Rusia ke Uni Eropa serta meroketnya harga migas, krisis energi di Uni Eropa tak terelakkan.

Akibatnya, negara-negara Eropa seperti Jerman, Austria, Polandia, Belanda dan Yunani dilaporkan membuka kembali atau mendukung penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (batubara) untuk mengatasi krisis energi tersebut serta memitigasi naiknya permintaan energi pada musim dingin, sembari tetap meningkatkan porsi EBT.

Negara-negara di Uni Eropa selanjutnya melakukan langkah-langkah lain termasuk di antaranya men-diversifikasi impor gas dari negara lain untuk melepaskan diri dari ketergantungan gas kepada Rusia, serta melakukan pembelian gas secara berkelompok untuk mendapatkan harga yang lebih murah.

Hasilnya, impor gas dari Rusia turun drastis, dari 50 persen tahun 2021 menjadi hanya 12 persen pada Oktober 2022 dari total impor gas Uni Eropa.

Pengalaman krisis energi Uni Eropa saat terjadi perang Rusia dan Ukraina menunjukkan bahwa potensi gejolak dan ketidakpastian adalah hal yang tidak bisa dianggap remeh serta harus dimitigasi dengan cepat dan tepat karena dampaknya luas.

Demikian juga sikap Uni Eropa yang mengandalkan perkembangan EBT yang pesat sebagai solusi krisis energi terbukti bukan suatu sikap yang bijak.

Tetap saja, perlu kehatian-hatian dan realistis dalam melihat ketersediaan sumber energi, infrastruktur serta daya beli masyarakat agar ketahanan energi tetap terjamin dan transisi energi dilakukan dengan tepat.

Migas Indonesia, turun tapi naik

Bauran energi primer Indonesia berbeda dengan Eropa, di mana batubara, minyak dan gas bumi masih terdepan, diikuti EBT.

Data Kementrian ESDM pada Mei 2023 menyatakan, bauran energi primer Indonesia tahun 2022 didominasi batubara sebesar 42,38 persen, disusul minyak bumi sebesar 31,40 persen, gas 13,92 persen, EBT sebesar 12,30 persen.

Dari sisi proyeksi ke depan, mengacu pada outlook energi edisi 2019 Dewan Energi Nasional, ada tiga skenario outlook, yakni Business as Usual, Pembangunan Berkelanjutan dan Rendah Karbon.

Mengikuti arah dunia menuju sustainability dan emisi karbon nol bersih, dua skenario yang paling relevan adalah skenario Pembangunan Berkelanjutan yang mengacu pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dan skenario Rendah Karbon yang mengacu pada kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celsius.

Skenario Pembangunan Berkelanjutan memproyeksikan bahwa bauran energi 2025 menjadi 32 persen batubara, 24 persen gas, 21 persen minyak bumi, dan 23 persen EBT.

Sedangkan proyeksi bauran energi tahun 2050 adalah EBT 32 persen, batubara 29 persen, gas 24 persen, dan minyak bumi 15 persen.

Adapun dalam skenario Rendah Karbon, bauran energi 2025 diproyeksikan menjadi 36 persen EBT, 24 persen batubara, 21 persen gas, dan 19 persen minyak bumi.

Sementara pada 2050, bauran energi menjadi 58 persen EBT, 22 persen batubara, 12 persen gas, dan 8 persen minyak bumi.

Perlu dicatat, sebagai acuan, RUEN tahun 2015-2050 mengamanatkan bauran energi tahun 2025, persentase EBT paling sedikit 23 persen, gas bumi minimal 22 persen, minyak bumi maksimal 25 persen, dan selebihnya dipasok batubara.

Sedangkan bauran energi tahun 2050, persentase EBT paling sedikit 31 persen, gas bumi minimal 24 persen, minyak bumi maksimal 20 persen, dan batubara memenuhi sisanya.

Terlihat bahwa hingga 2022, dominasi minyak dan gas bumi dalam bauran energi primer masih kuat, mencapai total 45,3 persen, kemudian akan menurun menjadi 39 persen pada skenario Pembangunan Berkelanjutan dan 20 persen pada skenario Rendah Karbon tahun 2050.

Walau persentase turun, namun secara absolut, diperkirakan penyediaan minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan energi akan mencapai 127,1 Juta Ton Setara Minyak Bumi (MTOE) untuk skenario PB dan 106,4 MTOE untuk skenario RK di tahun 2050, jauh di atas 54.8 MTOE di tahun 2018.

Sedangkan penyediaan gas tahun 2050 akan mencapai 154,2 MTOE untuk skenario PB dan 140,3 MTOE untuk skenario RK, hampir tiga kali lipat dari 2018.

Ini menunjukkan dua hal, yakni pada masa lalu, saat ini hingga masa depan, secara realistis minyak dan gas bumi mempunyai arti penting mendorong Indonesia untuk tetap tumbuh seperti sekarang.

Kedua adalah suatu keniscayaan bahwa transisi energi akan terus menggelinding dalam upaya mencapai target emisi karbon nol bersih, sehingga minyak dan gas bumi akan berperan dalam menciptakan/menggunakan teknologi untuk menghijaukan dirinya sendiri ataupun industri lain.

Dimensi kontribusi hingga kompleksitas

Sektor hulu migas tidak bisa dibantah sangat berkontribusi dalam pembangunan Indonesia. Cukup banyak kota-kota di Indonesia tumbuh berbasis industri hulu migas beserta industri turunannya di antaranya Balikpapan dan Bontang (Kalimantan Timur), Cepu (Jawa Tengah), Sorong (Papua Barat), Dumai (Riau), Prabumulih (Sumatra Selatan), dan Tarakan (Kalimantan Utara).

Tumbuhnya kota-kota tersebut juga mencerminkan keberadaan tenaga kerja yang terserap dengan munculnya industri hulu migas beserta industri penunjangnya.

Manfaat keberadaan kota-kota yang dijadikan contoh tersebut masih dirasakan penduduknya hingga sekarang.

Kontribusi lain dari hulu migas adalah penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak (PNBP). Kontribusi penerimaan dari sektor migas kepada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) juga pernah mencapai 50-60 persen total APBN.

Kini mungkin berkisar 5-10 persen, selain karena penurunan alami produksi terutama minyak, juga karena penerimaan negara dari sektor lain sudah melonjak.

Sebagai contoh saat penerimaan pajak migas dan PNBP migas tahun 2021 mencapai Rp 149,4 triliun, penerimaan negara dari sektor lain tahun 2021 sudah mencapai Rp 1.861,9 triliun, membuat total penerimaan negara menjadi Rp 2.011.3 triliun atau hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun 2007 sebesar Rp 706,1 triliun (bps.go.id).

Memang harus diakui saat mulai terjadi penurunan alami produksi minyak di pertengahan dasawarsa 1990-an, kegiatan eksplorasi tidak digenjot dalam upaya menemukan cadangan minyak baru yang potensial diproduksi.

Sedangkan proses tahapan eksplorasi hingga tahapan produksi minyak - dan juga gas - memakan waktu bertahun-tahun, bahkan bisa mencapai 10-15 tahun.

Hal ini dikarenakan berbagai kendala mulai dari teknis lapangan, keekonomian lapangan migas yang kurang kompetitif, skema bagi hasil yang kurang atraktif, perubahan kebijakan, rumitnya perizinan, persoalan politik, hingga gejolak dunia.

Otomatis, produksi minyak menurun terus. Di saat bersamaan, konsumsi minyak mentah Indonesia terus meningkat.

Singkatnya, hal tersebut membuat Indonesia menjadi net importer minyak mentah sejak 2003, di mana produksi minyak Indonesia hanya 1.183 ribu barel per hari, sementara konsumi minyak domestik mencapai 1.218 ribu barel per hari, menurut BP Statistical Review 2010.

Kompleksitas isu baik di tingkat nasional maupun lokal yang dihadapi industri migas hingga kini masih belum terpecahkan.

Tahun 2021, misalnya, Kementrian ESDM menyebut Indonesia mengimpor minyak mentah sebesar 286.000 barel per hari (belum termasuk impor bahan bakar minyak), karena produksi minyak dalam negeri hanya sebesar 658.520 barel per hari tidak mencukupi memenuhi konsumsi minyak mentah domestik.

Sedangkan untuk konsumsi gas domestik, saat ini masih di bawah produksi total gas, sehingga ekspor masih bisa dilakukan.

Di sisi lain, lamanya proses tahapan eksplorasi hingga produksi migas, misalnya Proyek IDD, Masela, hingga Blok Kasuri juga membuat frustrasi berbagai kalangan baik perusahaan migas, pemerintah dan tentunya masyarakat setempat yang mengidam-idamkan akselerasi perbaikan ekonomi dari sektor migas.

Hal lain yang juga mengkhawatirkan adalah sejumlah perusahaan yang masuk 10 besar perusahaan migas dunia praktis tidak beroperasi di WK Migas di Indonesia, yakni ConocoPhillips, Chevron, dan Total. Yang tersisa adalah ExxonMobil, BP, dan Petrochina.

Padahal kehadiran mereka di suatu negara diperlukan karena mengindikasikan bahwa iklim investasi migas negara tersebut lebih menarik dan kompetitif dibandingkan dengan negara lain, di samping kekuatan finansial mereka yang besar serta teknologi mereka yang mumpuni sangat dibutuhkan untuk eksplorasi dan produksi migas terutama di lapangan yang baru.

Pemerintah tentu berusaha melakukan perbaikan dari berbagai sisi agar situasi migas membaik. Misalnya, memberikan fleksibilitas bagi investor memilih skema cost recovery atau gross split, kemudahan berpindah skema dari cost recovery ke gross split dan sebaliknya, perbaikan profit split, perbaikan FTP (first trance petroleum), hingga kemudahan akses data saat lelang Wilayah Kerja (WK) Migas.

Namun hal ini baru mampu memikat beberapa perusahaan nasional, satu perusahaan multinasional kelas menengah, dan satu perusahan multinasional besar dalam lelang WK Mgas 2021-2022.

Promosi gencar juga dilakukan pemerintah di antaranya Menteri ESDM melakukan roadshow ke berbagai negara besar untuk mengajak langsung para perusahaan migas dunia berinvestasi kembali di Indonesia.

Upaya lainnya, yakni mengumumkan lelang WK Migas, sesi penjelasan tentang WK yang dilelang hingga pemenang lelang WK Migas dalam acara terbesar tahunan migas, yakni Indonesian Petroleum Association Convention and Exhibition (IPA Convex), dan International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas (IOG).

Namun sepertinya memang minat dari mayoritas perusahaan besar migas dunia untuk berinvestasi ke Indonesia belum kembali seperti dulu, meskipun mulai ada sedikit harapan ketimbang beberapa tahun silam.

Memang tidak mudah bagi Indonesia, tapi tidak ada jalan lain bahwa terobosan harus terus dilakukan untuk menarik investor migas datang, berinvestasi, dan mengeksplorasi WK Migas.

Targetnya tentu agar produksi migas kembali naik, sehingga bisa mengurangi jumlah impor terutama minyak dalam upaya menjaga ketahanan energi Indonesia.

Hulu Migas transisi kemana?

Kini situasi di industri hulu migas semakin kompleks menyusul munculnya pandemi Covid-19, perang Rusia - Ukraina sejak 2022, perlambatan hingga resesi ekonomi 2023, serta munculnya transisi energi yang mengikuti kesepakatan dunia untuk mencapai emisi karbon nol bersih tahun 2050.

Beberapa dampak terbesarnya adalah tingginya volatilitas harga minyak dan gas, demikian juga naik turunnya penerimaan negara dari migas dan besaran subsidi negara untuk BBM mengingat sebagian minyak mentah dan BBM Indonesia harus diimpor.

Selain itu, naik turunnya pendapatan perusahaan migas, serta penyesuaian kebijakan dan portofolio perusahaan migas untuk turut mencapai target emisi karbon nol bersih.

Langkah-langkah strategis yang ditempuh perusahaan migas menuju emisi karbon nol bersih berkisar pada penggunaan teknologi carbon capture and storage (CCS) atau penangkapan dan penyimpanan karbon, dan carbon capture, utilization, and storage (CCUS) atau penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon untuk operasi migas dan potensi penggunaannya di industri lain yang terbelit dengan emisi karbon, diversifikasi ke EBT - surya, air, angin, panas bumi, bioenergi, hidrogen -, masuk ke bisnis pertambangan, pengolahan mineral kritikal untuk baterai kendaraan listrik, hingga pembuatan dan pendirian tempat charging kendaraan listrik.

BP, misalnya, dalam proyek LNG Tangguh dari Lapangan Vorwata telah berhasil mendapatkan persetujuan dari SKK Migas untuk menggunakan teknologi CCUS, yakni menginjeksikan tangkapan 25 juta ton CO2 dari operasi LNG-nya ke reservoir untuk menurunkan emisi karbon LNG Tangguh hampir 50 persen sekaligus menghasilkan tambahan produksi gas melalui enhanced gas recovery (EGR).

Hal ini juga diikuti perusahaan lain yang sedang mengembangkan proyek CCUS di lapangannya seperti Pertamina di Lapangan Gundih Cepu, dan Sukowati Bojonegoro.

Beberapa kerjasama pengkajian dan pengembangan CCS ataupun CCUS juga dilakukan. Misalnya, kerjasama terpisah antara Pertamina dengan ExxonMobil dan Chevron (CCS/CCUS) untuk penurunan emisi karbon di lapangan migas, serta Medco Energi dengan Kansai Electrik (CCS dan co-firing biomass) untuk dekarbonisasi di pembangkit listrik tenaga uap (batubara).

Prinsip CCS adalah menangkap emisi karbon dengan teknologi, ditransportasikan ke tempat penyimpanan, lalu disimpan di lokasi yang aman, yakni di bawah permukaan tanah atau di laut dalam dengan kedalaman tertentu agar terisolasi.

Sedangkan CCUS adalah menangkap emisi karbon dengan teknologi, lalu diinjeksikan kembali ke reservoir migas untuk mengoptimalkan produksi migas.

Tantangan terbesar dari penggunaan teknologi CCS maupun CCUS ini adalah pertama, biayanya yang sering disebut mahal. Kedua, apakah hasil tangkapan emisi karbon di lapangan migas - dengan CCS/CCUS - ataupun di industri lain dengan CCS benar-benar sesuai dengan yang dijanjikan oleh teknologi tersebut.

Adalah tugas perusahaan migas untuk terus berinovasi agar teknologi CCS/CCUS yang ditawarkan semakin murah biayanya dan efektivitas hasilnya tinggi, sehingga memudahkan bagi calon penggunanya untuk memilih.

Terlepas dari tantangan tersebut, tulisan International Energy Agency (IEA, 2023), How new business models are boosting momentum on CCUS menyebutkan bahwa pada 2022, ada lebih dari 140 proyek CCUS baru diumumkan.

Kemudian, kapasitas penyimpanan dan tangkapan karbon masing-masing direncanakan naik 80 persen dan 30 persen.

Selain itu, 15 Keputusan Akhir Investasi (Final Investment Decision atau FID) telah diambil lintas sektor industri pada 2022, naik dari 8 FID pada tahun sebelumnya.

Hingga tahun 2022, sebanyak 45 negara telah berencana mengembangkan CCUS. Ini adalah bentuk kepercayaan pada CCUS dari industri di tingkat global, dan Indonesia juga telah memanfaatkan momentum ini untuk membuat regulasi tentang pengimplementasian CCS/CCUS di industri hulu migas.

Saat ini, regulasi pemerintah untuk perluasan implementasi CCS/CCUS ke sektor industri lain serta hub CCS/CCUS masih ditunggu.

Perkembangan ini menunjukkan setidaknya sektor hulu migas di Indonesia kini mulai masuk dalam peran barunya di energi transisi, yakni menghijaukan dirinya dan industri lain, sambil secara bertahap menjadi perusahaan energi nonmigas dalam jangka panjang dan mengalihkan migas menjadi sumber bahan baku industri turunan ketimbang sebagai sumber energi.

Berbagai langkah Indonesia dalam mengelola migas pada masa transisi energi sejauh ini terlihat lebih realistis, tetap serius dan bergerak maju.

Kelanjutannya, apakah itu semua nanti cukup untuk menghadapi goncangan-goncangan ke depan di tingkat global yang sulit diduga, maupun meningkatnya kompleksitas isu di tingkat nasional ataupun lokal? Kita lihat bersama ke depan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com