Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Menutup Celah Kesenjangan

Kompas.com - 14/07/2023, 06:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM berbagai kesempatan, saya acap kali mengunjungi Kota Batam. Banyak tempat khasnya yang secara tegas menampakkan alasan kota kepulauan ini menjadi perekonomian terbesar kedua di Sumatera dengan skala mencapai satu persen ekonomi nasional.

Satu di antaranya adalah Harbour Bay, kawasan pelabuhan seluas 500 hektar bergelimang hotel dan pusat hiburan mewah penuh cahaya yang dapat dilihat jelas dari negeri singa di seberang selat.

Namun, tersembunyi dari semua kemegahan tersebut, di jalan setapak tepat di balik panjangnya tembok yang memisahkan Harbour Bay dari dunia luar, terdapat komunitas masyarakat yang hidup bermukim di deretan rumah semi permanen berdinding seng penuh karat dan papan kayu tipis.

Ini adalah potret gamblang dari tajamnya kesenjangan yang masih membelah perekonomian kita.

Kontras kehidupan serupa sebenarnya dapat dengan mudah kita temui di banyak daerah, khususnya metropolitan.

Di Jakarta, misalnya, ibu kota negara menjadi provinsi tertimpang ketiga, terdapat Kampung Pemulung Gasong yang diselimuti bayangan kompleks apartemen menjulang tinggi di kawasan Setiabudi.

Kesenjangan memang menjadi isu yang tak mungkin lepas dari tiap perekonomian. Namun, dalam kasus Indonesia, masalah ini justru kian parah, alih-alih membaik.

Nirlaba internasional Oxfam pada 2017 menemukan bahwa ketimpangan di Indonesia menjadi yang paling cepat tumbuh di Asia Tenggara.

Pada 2022 saja, rasio Gini yang menjadi pengukur tingkat kesenjangan nasional justru lebih tinggi 11 persen dibanding dua dekade lalu.

Setahun sebelumnya, United Nations Development Programme (UNDP) juga sekali lagi menemukan Indonesia sebagai ujung terparah dari spektrum pertumbuhan kesenjangan di Kawasan Asia-Pasifik.

Problematika ini bukan tak berdampak serius bagi perekonomian. Ketaksetaraan akses kebutuhan dasar, terutama pendidikan dan kesehatan, memperburuk kondisi kehidupan dan menjebak masyarakat rentan dalam kemiskinan.

Pada pertengahan 2021, Credit Suisse menemukan bahwa pandemi telah melahirkan 65.000 orang kaya baru Indonesia ketika 1,12 juta orang lainnya justru terjun ke jurang kemiskinan.

Pada akhir 2022, tingkat kemiskinan masih berada pada level 9,57 persen yang lebih tinggi dibanding 9,22 persen saat prapandemi.

Kini, 26,36 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan nasional sebesar Rp 535.000 per jiwa setiap bulannya.

Kritik ini krusial bagi bangsa kita yang mempunyai Visi Emas menjadi perekonomian global di tahun 2045. Penting untuk memastikan bahwa ekonomi tak hanya sekadar tumbuh, tetapi juga dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com