Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Pertaruhan Kredibilitas Fiskal Akhir Periode Pemerintahan Jokowi

Kompas.com - 20/07/2023, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BILA pandemi adalah badai ekonomi, maka sesungguhnya siklon itu telah melandai. Haluan lambu ekonomi tengah berlayar menuju asa, setelah diamuk turbulensi dua tahun lebih.

Namun tak dinyana, gumpalan awan hitam volatilitas global masih menggelayuti makro ekonomi global.

Sisa-sisa badai, pertemuan arus ketidakpastian dan normalisasi harga komoditas global, mengarahkan lambu ekonomi bergerak kencang ke asa.

Berbagai lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan IMF, mentaksasi ekonomi Indonesia tumbuh di bawah 5 persen tahun 2023.

Perbekalan dan tenaga ekstra melalui diskresi fiskal selama pandemi durasinya sudah di titik limit. Seiring berakhirnya pandemi Covid-19.

Regulasi fiskal dituntut bekerja dalam jalur normal. Di antaranya, defisit APBN harus diambang batas normal, di bawah 3 persen dari PDB.

Di tengah tantangan eksternal global dan domestik itulah, wajah kredibilitas fiskal dipertaruhkan pada akhir pemerintahan Jokowi.

Secara makro, untuk menyiasati ihwal UU tersebut, konsolidasi fiskal dipecut. Agar ceruk fiskal lebih loncer untuk mengakomodasi belanja, sehingga ruang defisit tetap terjaga pada threshold sesuai kehendak UU.

Tentu saja APBN adalah harapan suci rakyat. Semua asumsi, berisikan cita-cita mulia pembangunan selama satu tahun ke depan.

Harapan dan cita-cita APBN, tak semudah membalik telapak tangan pada kenyataannya. Berkaca dari 2017 hingga outlook 2023, tampaknya beban bunga utang kian meningkat.

Kendati utang memiliki manfaat secara ekonomi, namun namanya juga utang, tentu memberatkan dan berisiko. Sebab itulah ia dikelola, agar sehat dan tidak menjadi bumerang.

Rasio bunga utang terhadap belanja pusat adalah salah satu indikator untuk mengukur kemampuan pemerintah dalam membayar kewajiban bunga utangnya.

Rasio ini menggambarkan berapa persen dari belanja pusat yang digunakan untuk membayar bunga utang.

Semakin tinggi rasio ini, semakin besar pula beban bunga utang yang harus ditanggung pemerintah dan semakin rendah kapasitas fiskal.

Dari data Kemenkeu, rasio bunga utang terhadap belanja pusat tahun 2017-2022, terus mengalami peningkatan.

Secara nominal, belanja bunga utang pada 2017 adalah Rp 221,1 triliun menjadi Rp 437,4 triliun pada outlook 2023 atau meningkat 97,8 persen selama 5 tahun terakhir.

Rasio belanja bunga utang terhadap penerimaan negara adalah salah satu indikator untuk mengukur kemampuan pemerintah dalam membayar kewajiban bunga utangnya.

Rasio ini menunjukkan berapa persen dari penerimaan negara yang digunakan untuk membayar bunga utang.

Semakin tinggi rasio beban bunga terhadap penerimaan negara, semakin besar beban bunga utang yang harus ditanggung pemerintah dan semakin rendah kapasitas fiskalnya.

Dari sumber data yang sama, terlihat bahwa rasio bunga utang terhadap penerimaan negara meningkat. Dari 2017-2022, rata-rata peningkatan rasio bunga utang terhadap penerimaan negara adalah 16,43 persen. Melampaui rekomendasi IMF dengan threshold tidak lebih dari 10 persen.

Peningkatan rasio utang terhadap penerimaan bila tak diimbangi dengan pengelolaan risiko (debt risk/debt management), bisa menimbulkan masalah kemudian hari. Selain pengelolaan utang agar under risk, pemerintah juga perlu meningkatkan penerimaan.

Tax ratio APBN 2023 yang cenderung turun dari realisasi 2022 tentulah menggahar was-was, apakah konsolidasi fiskal berakhir khusnul khotimah atau su’ul? Tentu ini pertaruhan wajah pemerintahan Jokowi pada akhir periode.

Beberapa pihak meramal Tax buoyancy Indonesia tahun 2023 diperkirakan turun di bawah level 1 (satu) menjadi 0,09 persen.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, moderasi harga komoditas, tidak adanya momentum berulang seperti program pengungkapan sukarela (PPS), dan normalisasi tax buoyancy setelah dua tahun terakhir mencapai angka 2.

Akibatnya, rasio pajak atau tax ratio Indonesia pada 2023 juga diperkirakan turun menjadi 9,61 persen, lebih rendah dari tahun 2022 yang mencapai 10,41 persen.

Artinya, tahun 2023, penerimaan pajak hanya bertumbuh 0,09 persen untuk setiap satu persen pertumbuhan ekonomi.

Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan pajak tidak sebanding dengan performa ekonomi. Penerimaan pajak harus mencapai Rp 2.944,5 triliun pada 2023 untuk membuat tax buoyancy satu.

Ini berarti penerimaan pajak harus meningkat sebesar Rp 910 triliun atau 44,7 persen dari tahun 2022.

Tax buoyancy satu atau di atas satu artinya penerimaan pajak tumbuh sebanding atau lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan penerimaan pajak yang lebih rendah dari PDB dapat menimbulkan dampak negatif, seperti: Pertama, menurunkan kemampuan fiskal negara untuk membiayai pengeluaran publik dan mengurangi defisit anggaran.

Kedua, meningkatkan ketergantungan negara terhadap pinjaman dan utang untuk memenuhi kebutuhan fiskalnya.

Ketiga, mengurangi ruang fiskal untuk melakukan stimulus ekonomi jika terjadi krisis atau perlambatan ekonomi.

Tentu saja, dengan penurunan tax buoyancy di bawah satu, menandakan konsolidasi fiskal sedikit terganggu. Berarti untuk mengakomodasi belanja pemerintah, memungkinkan terbukanya ruang defisit anggaran.

Inilah tantangan yang dihadapi oleh pemerintah. Oleh sebab itu, lagi-lagi, konsolidasi fiskal melalui tax effort dengan berbagai regulasi diperlukan.

Misalnya, melalui perluasan objek penerimaan pajak dan cukai minuman pemanis berkemasan, pajak karbon serta memperkecil praktik shadow economy.

Hilirisasi sebagai salah akselerator nilai tambah, diharapkan memberikan booster bagi penerimaan negara

Beban kewajiban pemerintah dari sisi bunga, atau meningkatnya bunga hutang, bisa disebabkan beberapa hal.

Di antaranya, dampak Covid-19, kenaikan suku bunga dalam dan luar negeri yang berdampak pada yield bond, koreksi terhadap pendapatan negara dan strategi front loading.

Peningkatan bunga utang dari tahun 2017-outlook 2023 adalah 97,8 persen, sementara peningkatan penerimaan negara dengan rentang waktu yang sama hanya 48,8 persen.

Peningkatan bunga utang lebih tinggi dari peningkatan penerimaan negara, artinya pemerintah mengalami keterbatasan ruang fiskal untuk melakukan belanja produktif yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi.

Hal ini juga menurunkan efektivitas belanja negara karena sebagian besar anggaran digunakan untuk membayar kewajiban bunga utang.

Namun pada saat yang sama, peningkatan kewajiban pemerintah tersebut harus dilihat juga, bahwa sejauh mana utang tersebut dimanfaatkan secara produktif untuk ekonomi dan rakyat.

Pada 2023, pemerintah memiliki tantangan menjaga defisit APBN di bawah 3 persen terhadap PDB. Langkah ini sangat ditunjang dengan konsolidasi penerimaan negara.

Tahun 2023 sekaligus sebagai penutup pemerintahan Jokowi. Dengan demikian, konsolidasi fiskal untuk menavigasi defisit sesuai ketentuan UU, adalah pertaruhan citra pemerintahan Jokowi pada akhir masa bakti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com