Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Ambiguitas Uni Eropa di Antara Sawit dan Nikel

Kompas.com - 20/07/2023, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEKITAR 2013, wajah Kepulauan Morowali di Provinsi Sulawesi Tengah berubah karena pabrik peleburan nikel mulai bermunculan.

Kemunculan pabrik nikel semakin marak semenjak Pemerintahan Jokowi berkomitmen melipatgandakan jumlah pabrik peleburan nikel secara nasional antara 2020 dan 2021.

Awal Maret 2023, Sekretaris Daerah Kabupaten Morowali, Jafar Hamid mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 200.000 hektar tambang nikel di Kabupaten Morowali.

Luas lahan tambang nikel di Sulawesi Selatan mencapai 198.624,66 ha. Tak heran jika Morowali disebut pusat global untuk penambangan bijih nikel.

Pada 2021, tercatat bahwa Indonesia memproduksi hingga 1.040 ribu ton nikel. Badan geologi Pemerintah AS mengestimasikan produksi nikel di Indonesia tahun 2022 meningkat hingga 20 persen.

Tak hanya di penambangan nikel, Pemerintah Indonesia juga menggejot produksi minyak sawit. Pada 2016, Indonesia memproduksi lebih dari 34,5 juta ton minyak sawit dan mengekspor hampir 73 persen-nya.

Pada 2022, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memproduksi minyak kelapa sawit sebanyak 45,58 juta ton.

Jumlah tersebut meningkat 1,02 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya, yang mencapai 45,12 juta ton, tetapi melonjak naik 32,12 persen dari 2016.

Angka kenaikan produksi minyak sawit yang tinggi membuat United States Department of Agriculture (USDA), menyebut Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, kemudian Malaysia.

USDA memproyeksikan produksi CPO Indonesia bisa mencapai 45,5 juta metrik ton (MT) pada periode 2022/2023, dan produksi CPO Malaysia 18,8 juta MT.

Membuat konsumen bergantung

Dalam upaya mempercepat pengolahan nikel di dalam negeri, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI menerbitkan Peraturan ESDM No. 11 Tahun 2019 yang mengubah Peraturan ESDM No. 25 Tahun 2018 tentang Pemanfaatan Mineral Pertambangan dan Batubara (Peraturan ESDM No. 25 /2018).

Efektif 1 Januari 2020, ekspor nikel kadar rendah dilarang, dua tahun lebih cepat dari jadwal, sedangkan Keputusan ESDM No. 154/2019 menetapkan implementasi persyaratan fasilitas peleburan.

Tambang nikel di Indonesia.FARIDA INDRIASTUTI/DW Tambang nikel di Indonesia.
Presiden Jokowi menegaskan larangan ekspor nikel ditujukan semata-mata untuk meningkatkan hilirisasi. Sebab hilirisasi nikel terbukti melambungkan pendapatan negara dari Rp 17 triliun pada 2014, menjadi Rp 326 triliun pada 2021.

Larangan ekspor nikel selaras dengan visi Presiden Joko Widodo mendorong terciptanya desain perekonomian yang dapat membuat negara-negara lain memiliki ketergantungan terhadap suatu produk Indonesia.

"Kita memang membuka diri untuk investasi asing, tetapi kita juga harus mendesain secara konsisten untuk menciptakan produk tertentu yang membuat negara lain bergantung kepada kita," kata Presiden dalam sambutannya pada acara Kompas100 CEO Forum Tahun 2022, di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 2 Desember 2022 lalu.

Pelarangan ekspor bijih nikel membuat Uni Eropa (UE) meradang. Hal itu berdampak langsung pada volume produksi baja mereka.

Pada 2020, ketika Indonesia mulai menerapkan pelarangan ekspor bijih nikel, volume produksi baja UE langsung melorot secara cukup signifikan.

Volume produksi baja murni UE tahun 2019 sebesar 124.017.000 ton, sedangkan pada 2020 turun menjadi 110.057.000 ton.

Kemudian, volume produksi baja paduan tahun 2019 sebesar 26.640.000 ton, sedangkan tahun 2020 turun menjadi 22.929.000 ton.

Lalu, volume produksi stainless steel tahun 2019 mencapai 6.805.000 ton, kemudian turun menjadi 6.309.000 ton pada 2020.

Ambiguitas UE

Sejatinya, kebijakan dan pola kerja sama perdagangan yang diterapkan UE atas Indonesia bersifat ambigu, khususnya menyangkut komoditas nikel dan minyak sawit.

Sebelum Indonesia memberlakukan pelarangan ekspor nikel pada 1 Jaunari 2020, UE sudah lebih dahulu mendikte Indonesia terkait ekpsor minyak sawit.

Pada awal 2019, Eropa menerbitkan Delegated Regulation yang merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II), di mana kelapa sawit dianggap sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan atau dikenal dengan deforestasi atau indirect land-use change (LUC).

UE khawatir tentang deforestasi dan kabut beracun berulang di seluruh Asia Tenggara karena kebakaran hutan yang sebagian disebabkan industri minyak sawit Indonesia dan juga pengaruhnya terhadap perusahaan Eropa yang terlibat dalam pembuatan biofuel.

Dalam situs resmi Europa.eu, RED II telah menargetkan pengurangan emisi karbon hingga 40 persen pada 2030.

Demi mencapai target tersebut, UE berupaya mengurangi konsumsi biodiesel sawit secara berangsur dan akan menghentikannya secara total pada 2030.

Tuduhan UE bahwa sawit Indonesia sebagai biang keladi deforestasi dan penghasil emisi karbon terbesar adalah hal yang tidak adil.

Berbagai studi mengatakakan bahwa kegiatan pertanian yang menjadi penyebab deforestasi dan penghasil emisi karbon nomor satu adalah perkebunan kedelai, bukan perkebunan kelapa sawit.

Sejak 1950-an, produksi kedelai global telah meningkat 15 kali lipat. Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina bersama-sama menghasilkan sekitar 80 persen kedelai dunia.

Perluasan perkebunan kedelai secara gencar membuat Brasil menjadi negara dengan ekosistem yang paling terancam.

Hingga saat ini, dunia telah kehilangan lebih dari 20 persen hutan hujan Amazon, 25 persen Pantanal (lahan basah terluas di dunia) dan 50 persen Cerrado (sabana paling beragam di dunia) karena deforestasi.

Menurut analisis Jaringan Riset Iklim Pangan Universitas Oxford (2022), hanya 7 persen yang digunakan untuk produk makan manusia seperti tahu dan susu kedelai, selebihnya 77 persen kedelai digunakan sebagai pakan ternak.

Terkait nikel, UE menggugat Indonesia ke WTO karena memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel mulai 1 Januari 2020.

Pada 7 Juli 2023, UE melakukan konsultasi dengan WTO tentang kemungkinan penggunaan peraturan penegakan dalam kasus penyelesaian sengketa pembatasan ekspor nikel Indonesia.

Situs berita online Policy.trade.ec.europa.eu menyebutkan bahwa Komisi Perdagangan UE mengambil langkah ini setelah Indonesia mengajukan banding Laporan Panel WTO tentang masalah tersebut – yang menguntungkan UE – ke Badan Banding non-fungsional, sehingga secara efektif memblokir penyelesaian sengketa yang final dan mengikat melalui WTO.

Padahal UE berharap Peraturan Penegakan UE memungkinkan UE untuk menegakkan kewajiban internasional, yang telah disetujui oleh sesama anggota WTO, ketika sengketa perdagangan diblokir meskipun UE berupaya mengikuti prosedur penyelesaian sengketa dengan itikad baik.

Komisi Perdagangan UE memiliki waktu hingga 11 Agustus 2023, untuk memberikan pandangan mereka tentang penggunaan Peraturan Penegakan UE dalam kasus ini.

Berdasarkan hasil konsultasi, UE dapat melanjutkan untuk mengusulkan tindakan pencegahan di musim gugur. Penanggulangan ini dapat mencakup pengenaan bea atau pembatasan kuantitatif pada impor/ekspor.

Pada saat yang sama, UE akan melanjutkan upaya untuk mencapai solusi yang disepakati bersama atas sengketa bijih nikel, termasuk terus mengajak Indonesia untuk bergabung dalam Multi-Party Interim Appeal Arrangement (MPIA).

Sebelumnya permintaan konsultasi delegasi UE kepada delegasi Indonesia, disampaikan kepada Dispute Settlement Body (DSU) sesuai dengan Pasal 4.4 DSU.

UE mengklaim bahwa larangan ekspor nikel Indonesia, tidak sesuai dengan Pasal XI:1 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994.

Komplain dan tuduhan UE atas kebijakan Indonesia melarang ekspor bijih nikel mengisyaratkan betapa UE sedang kelimpungan dalam mempertahankan sektor industri, terutama industri yang memproduksi baja tahan karat dan produksi bateri kendaraan listrik modern.

Apalagi pada saat bersamaan, China juga gencar mengembangkan pabrik untuk memproduksi baterai kendaraan bermotor.

UE bahkan semakin gerah ketika media memberitakan bahwa Indonesia ternyata ‘gagal’ mencegah beberapa kali ekspor ilegal bijih nikel ke China.

Memang ekspor ilegal tersebut menyebabkan kerugian di pihak Indonesia sekitar 48 juta dollar AS pada 2021. Sedangkan pada 2022, kerugian ekspor ilegal bijih nikel diperkirakan 54,6 juta dollar AS.

Namun, UE menduga, hal itu sebagai ‘permainan Indonesia’ untuk menenggelamkan pabrik baja tahan karat dan baterai kendaraan motor di UE.

Indonesia perlu tetap konsisten

Faktanya UE telah melakukan pengaduan ke WTO terhadap pembatasan ekspor nikel dan bahan baku lainnya yang dilakukan Indonesia.

Namun, berhadapan dengan aksi UE tersebut, Indonesia tak boleh menyerah dan perlu tetap bersikap konsisten.

Sebab kebijakan pelarangan ekspor nikel memiliki tujuan yang paling transformatif, yaitu memberi nilai tambah dan konservasi sumber daya, yang mengacu pada visi jangka panjang pembangunan Indonesia berkelanjutan.

Ketergantungan UE pada pasokan bijih nikel dari Indonesia dapat menjadi ‘senjata pamungkas’ untuk mengajukan gugatan balasan ke WTO guna melawan kesewenangan UE memberlakukan pengenaan tarif UE atas bahan bakar nabati berbasis minyak sawit Indonesia.

Apalagi kesewenangan itu dilakukan atas tuduhan sepihak bahwa Indonesia melakukan deforestasi untuk memperluas perkebunan sawit.

Artinya, apabila UE ingin mendapatkan akses ke pasokan bijih nikel dari Indonesia, dia pun harus bersikap lunak, dan mencabut kembali tarif tinggi atas minyak sawit Indonesia.

UE hendaknya percaya bahwa walau mengembangkan produksi minyak sawit, Indonesia juga memiliki kebijakan dan program kongkret untuk mencegah deforestasi dan kebakaran hutan.

Dengan kata lain, UE perlu berubah dan tidak perlu lagi menjadi ‘pendikte’ kebijakan dan arah pembangunan ekonomi Indonesia.

Sebab Indonesia berdaulat yang ingin bertumbuh menjadi negara kuat dan mandiri secara ekonomi, sejajar dengan negara-negara maju, termasuk dengan UE sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com