Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Dapatkah Kecerdasan Buatan Merevolusi Sistem Perpajakan Kita?

Kompas.com - 28/07/2023, 08:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tak hanya bagi masyarakat, AI juga juga dapat menjadi terobosan besar bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Algoritma AI memiliki kapabilitas segregasi dan interpretasi data yang dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi penghindaran pajak berdasarkan data keuangan berjumlah besar yang sulit dilakukan hanya oleh manusia.

Di Yunani dan Perancis, teknologi AI telah diterapkan untuk membandingkan basis data pajak properti dengan citra satelit perumahan untuk menemukan aset yang belum dilaporkan.

Sementara itu, India sejak 2019, telah menggunakan AI dalam mengawasi laporan pajak penghasilan dan berencana memperluasnya ke jenis pajak lainnya dalam waktu dekat.

Selain itu, AI juga dapat mengevaluasi pola kejadian masa lampau untuk menentukan level risiko wajib pajak.

Dengan demikian, sistem manajemen risiko kepatuhan yang lebih baik dapat tercipta, memungkinkan DJP untuk mengalokasikan sumber daya dengan lebih efisien dalam mengawasi wajib pajak.

Dengan bantuan teknologi AI, pengawasan kepatuhan pajak menjadi lebih efektif dan memungkinkan DJP untuk mengidentifikasi potensi penghindaran pajak dengan lebih akurat, sehingga meningkatkan penerimaan pajak secara keseluruhan.

Menimbang risiko

Potensi besar AI dalam sistem perpajakan memang tak dapat disangkal, namun potensi ini juga datang dengan risiko yang harus diperhitungkan.

Salah satu tantangannya adalah memastikan ketersediaan dana untuk mewujudkan teknologinya. Sebagai contoh, dalam mengembangkan ChatGPT, OpenAI harus menggelontorkan dana sebesar 4,6 juta dollar AS (Rp 69,18 miliar).

Sementara bagi IBM, investasi dalam menciptakan AI Watson justru lebih besar lagi mencapai 1,8 miliar dollar AS (Rp 27 triliun).

Untuk mengembangkan sistem AI yang dapat mengasistensi lebih dari 67 juta wajib pajak dan meringankan beban kerja 45.000 pegawai DJP, tentu membutuhkan anggaran yang tak kecil.

Tak hanya itu, menemukan tender proyek yang sesuai juga menjadi tantangan teknis. Baik ChatGPT milik OpenAI dan Watson milik IBM dikembangkan oleh saintis profesional dari beragam institut ilmiah dan perguruan tinggi di seantero Amerika Serikat.

Sementara di Indonesia, bidang AI masih menjadi hal yang baru usai diluncurkannya Strategi Nasional AI pada Agustus 2020.

Namun, risiko yang sebenarnya terletak pada isu privasi dan keamanan data. Sistem perpajakan melibatkan data sensitif yang kerahasiaannya dijamin undang-undang.

Sementara teknologi AI, sama seperti sistem elektronik lainnya, tak luput dari risiko kebocoran data. Contohnya, pada Maret lalu, ChatGPT mengalami insiden peretasan yang mengakibatkan bocornya data milik lebih dari 100.000 penggunanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com