Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Quo Vadis Penerimaan Negara Sektor Kehutanan

Kompas.com - 18/08/2023, 07:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUMBER daya hutan alam yang mempunyai luas 120,3 juta hektare membentang dari ujung barat sampai ujung timur wilayah Indonesia pernah berjaya sebagai pemasok devisa negara kedua setelah minyak bumi melalui hasil hutan kayunya.

Hutan alam Dipterocarpaceae yang merupakan anugerah Tuhan luar biasa, mempunyai potensi ekonomi sangat besar bila dimanfaatkan hasil kayunya. Permintaan kayu meranti di pasar internasional cukup tinggi.

Bonanza kayu oleh rezim orde baru selama tiga dekade dimanfaatkan sebagai penggerak roda pembangunan dan merupakan penyumbang devisa negara nomor dua setelah minyak bumi.

Akibatnya hutan alam diekploitasi habis-habisan untuk diekspor kayunya dalam bentuk bahan mentah log (gelondongan).

Izin pengusahaan kayu alam dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), baik asing maupun domestik terus bertambah.

Pada 2000, misalnya, jumlah HPH meningkat sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektare.

Devisa negara yang disumbangkan hampir setara dengan minyak bumi, 9 miliar dollar AS per tahun terhadap pendapatan nasional.

Dalam terminologi ilmu kehutanan, manfaat hasil hutan kayu disebut manfaat langsung (tangiable benefit) yang dapat diukur langsung dengan nilai ekonomi.

Padahal kawasan hutan juga mempunyai manfaat ekonomi tidak langsung (intangible benefit) seperti nilai lingkungan, pengendali polusi, cadangan sumber air dan seterusnya. Bila nilainya disetarakan dengan nilai ekonomi besarannya tidak kalah dibandingkan dengan manfaat langsung.

Sayangnya, setelah bergantinya rezim dari orde baru ke rezim reformasi, seiring pudarnya kejayaan kayu dari hutan alam Indonesia, penerimaan negara dari sektor kehutanan menurun sangat tajam dari tahun ke tahun.

Kondisi ini membuat gusar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Tahun 2022 lalu, Menteri Keuangan mendapat laporan bahwa PNBP kehutanan tahun 2021 hanya 1,2 persen.

Jumlah tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Indonesia pada tahun itu Rp 452 triliun.

Menurut Sri Mulyani, setoran PNBP kehutanan kurang masuk akal apabila dibandingkan dengan luas hutan Indonesia 120 juta hektare.

Apalagi, banyak hutan alam Indonesia sudah beralih menjadi hutan tanaman industri, bahkan jadi perkebunan kelapa sawit.

Kontribusi produk domestik bruto (PDB) nominal sektor kehutanan pada 2017-2021 bahkan kurang dari 1 persen atau Rp 112 triliun pada 2021, naik dibanding tahun sebelumnya Rp 108,6 triliun, tapi turun secara persentase.

Padahal, meski kecil, menurut Sri Mulyani, sektor ini tumbuh rata-rata 5-6 persen per tahun. Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan yang terlampau kecil ini pertanda ada yang salah dalam pengelolaan hutan Indonesia.

Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), luas hutan Indonesia 125,2 juta hektare. Sementara menurut pemerintah tinggal 120 juta hektare hingga 2020. Luas hutan Indonesia ini belum terkonversi menopang pertumbuhan ekonomi.

Pada era Orde Baru, pemasukan negara sektor kehutanan pernah mencapai puncaknya sebesar 16 miliar dollar AS atau kini setara dengan Rp 240 triliuan (dengan nilai kurs Rp 15.000/dollar AS).

Menteri Keuangan memprediksi sebenarnya dominasi PNBP dari basis kayu masih sangat tinggi. PNBP kehutanan sangat kecil karena kurangnya pengawasan, penegakan hukum, banyaknya aset menganggur (idle).

Pungutan sektor kehutanan

Sebagaimana pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang PNBP, jenis pendapatan ini adalah penghasilan negara dari obyek bukan pajak seperti pemanfaatan sumber daya alam dan pelayanan negara yang dipungut dari orang per orang atau badan hukum yang telah memperoleh manfaat langsung atau tidak langsung.

Kini, setelah Undang-Undang Cipta Kerja terbit, PNBP dari pemanfaatan dan pemakaian kawasan hutan mengacu pada pasal 35 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan kehutanan.

PNBP yang diatur sebelumnya, pemanfaatan hutan alam menyetor provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR).

Adapun pemanfaatan hutan tanaman hanya dikenakan PSDH, termasuk hasil hutan dari Perhutani.

Selain itu, pemerintah juga menarik PNBP dari pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk tambang dan selain tambang, dari izin pemanfaatan jasa lingkungan serta dari pemanfaatan tanaman dan satwa liar.

Kini PNBP dari pemanfaatan hutan diatur dalam PP No. 23/2021 dan Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 8/2021 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan di hutan lindung dan hutan produksi.

Dalam bab VIII tentang PNBP pemanfaatan hutan pasal 306 disebutkan bahwa jenis PNBP pemanfaatan hutan meliputi IPBPH (Iuran Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan), PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan), DR (Dana Reboisasi), DPEH (Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan), dana hasil usaha penjualan tegakan yang berasal dari hutan tanaman hasil rehabilitasi.

Kemudian penerimaan dari pelayanan dokumen angkutan hasil hutan; penerimaan dari pelayanan dokumen Penjaminan Legalitas Hasil Hutan; Ganti Rugi Tegakan; dan denda administratif terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang terbangun di dalam Kawasan Hutan yang memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan akibat tidak menyelesaikan persyaratan perizinan di bidang kehutanan.

Akar masalah PNBP kecil

Aset menggangur yang disinyalir oleh Menteri Keunagan ada benarnya. Hutan produksi yang disiapkan untuk memproduksi hasil hutan kayu dan hasil hutan lainnya 50 persennya belum dimanfaatkan.

Dalam data di buku The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020 yang yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Desember 2020, disebutkan bahwa dari luas hutan produksi 68,80 juta hektar, yang dibebani hak (perizinan) baru seluas 34,18 juta hektare.

Jika hutan produksi yang belum berizin segera dimanfaatkan dan dioptimalkan untuk kegiatan ekonomi, maka penerimaan negara dari sektor kehutanan niscaya akan meningkat jumlahnya.

Selama ini hutan hanya dilihat dari manfaatnya secara langsung, yakni kayu. Dalam satu hektare hutan alam tropis Indonesia hanya ada 8-10 pohon jenis Dipterocarpaceae dengan volume rata-rata 50 m3 saja.

Padahal keragaman jenis kayu yang ada dalam hutan alam tropika Indonesia sangat tinggi. Masalahnya, sistem silvikultur untuk jenis kayu Shorea yang menyelingi jenis Dipterocarpaceae belum dikuasai oleh para ahli kehutanan Indonesia, sehingga panen kayu Shorea mengandalkan kayu yang tumbuh secara alami.

Soal lain, jika hanya mengandalkan kayu, maka nilai hutan memang kecil. Hanya Rp 400 per meter persegi per tahun.

Nilai kecil ini selalu jadi alasan konversi hutan menjadi perkebunan, perumahan, atau lahan pertanian. Padahal, dalam ekosistem hutan ada simpanan karbon, ada air, ada jasa lingkungan yang tak ternilai.

Untuk meningkatkan kontribusi sektor kehutanan perlu beberapa cara:

Pertama, mengoptimalkan kawasan hutan produksi. Luas hutan produksi 68,8 juta hektare dengan luas yang dikelola 18,75 hektare oleh 257 perusahaan, hutan tanaman industri 11,19 juta hektare oleh 292 perusahaan, dan usaha restorasi 0,62 juta hektare.

Hutan produksi menganggur (idle) seluas 34,62 juta hektare telah dicadangkan untuk hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 10,04 juta hektare, moratorium hutan primer (PIPPIB), 9,88 juta hektare, KPH dengan perencanaan jangka panjang 7,69 juta hektare, perhutanan sosial 3,55 juta hektare, dan konsesi 3,46 juta hektare.

Kedua, kurangnya pengawasan. Jumlah aparat jagawana (polisi kehutanan) seluruh Indonesia pusat dan daerah sekitar 7.000 orang. Jumlah itu tidak sebanding dengan luas kawasan hutan 120 juta hektare.

Idealnya, tiap jagawana mengawasi 500-1.000 hektare sehingga butuh 125.000 jagawana.

Ketiga, penegakan hukum lemah. Dalam kasus-kasus penjarahan hutan, pemerintah acap kalah di pengadilan.

Kawasan hutan yang jadi kebun kelapa sawit kini seluas 3,3 juta hektare yang belum tuntas penanganannya.

Padahal, menurut Menteri LHK Siti Nurbaya, apabila sawit ilegal yang masuk dalam kawasan hutan dikenakan denda administratif menggunakan PP No 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, maka negara akan diuntungkan dari denda ini sebesar lebih dari Rp 50 triliun.

Keempat, struktur PNBP sektor kehutanan sudah kedaluwarsa karena provisi sumber daya hutan (PSDH) menggunakan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P. 64/2017. Demikian pula dengan tarif dana reboisasi yang perlu ditinjau lagi.

Kelima, penerapan pajak karbon. Pajak karbon kehutanan layak segera diberlakukan karena sektor kehutanan menyumbang emisi karbon paling besar, yakni 48,5 persen emisi nasional pada 2010.

Selain penerimaan negara, pajak karbon bisa jadi instrumen mitigasi krisis iklim. Bisnis perdagangan karbon yang menjadi isu hangat dunia bisa menjadi ladang baru bagi bisnis di sektor kehutanan.

Bahana Sekuritas memperkirakan pendapatan pajak karbon sebesar Rp 26 triliun - Rp 53 triliun atau 0,2-0,3 persen PDB dengan asumsi tarif pajak sekitar 5-10 dollar AS per ton CO2 yang mencakup 60 persen emisi energi.

Jika hampir separuh emisi disumbang sektor kehutanan, pajak karbon setidaknya akan menyumbang Rp 14 triliun - Rp 26 triliun per tahun. Perkiraan angka pajak ini bisa mencerminkan nilai PNBP kehutanan yang lumayan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com