Pelepasan kawasan hutan dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan atau kawasan hutan produksi tetap.
Pelepasan tersebut untuk kegiatan a) proyek strategis nasional; b) pemulihan ekonomi nasional; c) pengadaan tanah untuk ketahanan pangan (food estate) dan energi; d) pengadaan tanah untuk bencana alam; e) pengadaan tanah obyek reforma agraria; dan f) kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki izin di dalam kawasan hutan.
Aturan pelepasan kawasan hutan mengacu sepenuhnya pada Permen LHK no. 7/2021. Meski telah menggunakan sistem online single submission (OSS) dalam perizinan berusaha terintegrasi, namun tidak keseluruhan menggunakan OSS. Ada beberapa hal yang masih bersifat konvensional di antaranya:
Pertama, pelepasan kawasan HPK untuk perizinan berusaha tidak diberikan sekaligus sesuai dengan permohonan jumlah luasnya, tetapi secara bertahap.
Pasal 4 menyatakan bahwa luas kawasan HPK yang dilepaskan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan di setiap wilayah provinsi:
Evaluasi dilakukan oleh kepala dinas provinsi dan kepala dinas yang mengurusi perkebunan yang hasilnya memuat pertimbangan layak tidaknya pemberian pelepasan berikutnya, berdasarkan unsur-unsur yang dievaluasi.
Dasar pertimbangan pemberian izin secara bertahap tiga kali untuk perkebunan sawit untuk 60.000 ha dan empat kali untuk perkebunan komoditas tebu untuk 100.000 ha, masih belum jelas dan perlu penjelasan lebih lanjut.
Kegiatan evaluasi oleh dinas provinsi/dinas yang mengurusi perkebunan atau kementerian sekalipun berpotensi sebagai sumber kolusi dan korupsi.
Kedua, rentang waktu rekomendasi persetujuan dan penolakan sangat panjang setelah lolos administrasi dari Lembaga OSS.
Dari Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (KLHK) mengakses dan mengunduh permohonan dan persyaratan dari sistem elektronik yang terintegrasi sampai dengan keluarnya keputusan menteri LHK dibutuhkan waktu 44 hari kerja.
Sedangkan rentang waktu lembaga OSS menerbitkan surat penolakan permohonan dibutuhkan waktu paling cepat 27 hari kerja.
Proses pungurusan izin dari mengakses dan mengunduh permohonan dan persyaratan dari sistem elektronik yang terintegrasi, pengawasan terhadap persyaratan permohonan, verifikasi lapangan, pelaporan kepada menteri, telaahan teknis dari persetujuan lembaga OSS kepada Sekjen, penelahan hukum dan penerbitan serta penyampaian konsep keputusan menteri kepada menteri, juga berpotensi sebagai sumber kolusi dan korupsi.
Ketiga, bagi izin pelepasan kawasan HPK yang melalui lembaga OSS, salah satu persyaratan teknis, yakni laporan dan rekomendasi hasil penelitian Tim Terpadu juga diperlukan.
Apabila ya, maka pemohon izin melalui OSS, sebelum dokumennya diproses oleh lembaga OSS, harus mengajukan permohonan kepada Dirjen PKTL KLHK untuk membentuk Tim Terpadu yang biayanya dibebankan kepada pemohon.
Waktu yang dibutuhkan melaksanakan penelitian dan menyampaikan laporan hasil penelitian dan rekomendasi paling lambat 60 hari kerja sejak ditetapkannya surat perintah tugas dari Direktur Jenderal atas nama Menteri.
Proses seperti ini sudah tentu membuka celah dan tidak steril dari proses negosiasi dan kolusi yang muaranya juga berujung pada korupsi.
Keempat, persyaratan teknis proporsal dan rencana teknis; peta lokasi; izin lingkungan; izin lokasi; rekomendasi hasil penelitian tim terpadu; pertimbangan gubernur; dan pakta integritas harus dibuat secara tertulis dan disampaikan meskipun tidak langsung ke KLHK, tetapi melalui sistem OSS. Proses pengurusan persyaratan administrasi ini juga membutuhkan waktu yang cukup lama.
Salah satu tujuan dibentuknya UU Cipta Kerja adalah memberi kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja.
Kemudahan yang dimaksud meliputi proses pengurusan izin dan waktu yang dibutuhkan dalam pengurusan izin.