Sebagai contoh, sejak menerapkan sanksi keras kepada Rusia, sekutu Amerika Serikat membekukan semua transaksi dengan mata uang Rubel, dengan cara memutus penukaran uang antarlembaga keuangan lintas negara atau SWIFT (Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication).
Tindakan ini menandai fenomena baru di era modern, yaitu penggunaan mata uang Dollar AS sebagai amunisi perang (dollar weaponization) dalam perang dagang antara AS dan China.
Fenomena ini sesungguhnya bukanlah hal baru, dan Rusia tentu saja tidak tinggal diam. Beberapa waktu lalu, Rusia menjual minyak ke India melalui Uni Emirat Arab dengan menggunakan mata uang Dirham dan Rubel.
Sementara Rusia melakukan transaksi berbagai komoditas, seperti minyak, batubara, dan logam lainnya dengan China menggunakan yuan.
Arus investasi yang tidak lagi dilakukan secara offshoring secara luas, atau terkotak-kotak sesuai aliansinya saja alias friendshoring, semakin mempertegas kecenderungan deglobalisasi dalam pergerakan modal di dunia.
Migrasi penduduk, penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi
Pasca pandemi COVID-19, kebijakan lockdown yang diterapkan hampir di seluruh dunia membuat migrasi penduduk secara global sempat terhenti.
Hal ini membuat para pekerja migran tidak bisa melakukan mobilisasi, yang pada akhirnya menganggu aktivitas bisnis maupun pergerakan modal.
Kabar baiknya, hal ini mulai mengangsur-angsur membaik di tengah upaya pemulihan ekonomi nasional di seluruh dunia.
Akan tetapi, metode remote working yang masif terjadi ketika pandemi COVID-19 membuat aktivitas manusia menjadi lebih efisien tanpa harus bergerak dari tempat kerja.
Fenomena ini merupakan bukti bahwa perkembangan teknologi mulai menjadi variabel baru, yang memengaruhi mobilitas manusia, bahkan dalam skala global di segala aspek.
Peneliti dari Yale University dan World Bank, Pinelopi Goldberg and Tristan Reed, melakukan penelitian tentang fenomena deglobalisasi pada 2023.
Dalam penelitian tersebut, mereka mengungkap bahwa terdapat dua alasan mengapa perlambatan perdagangan dapat disebabkan oleh teknologi: adanya fragmentasi produksi pada produk-produk di tingkat menengah dalam Global Value Chain (GVC), dan berkurangnya kebutuhan tenaga kerja kasar akibat otomatisasi serta perkembangan Artificial Intelligence (AI).
Namun, menurut mereka, alasan utama terjadinya deglobalisasi tetap bukanlah technology-driven, melainkan policy-driven.
Yang perlu kita sadari bersama adalah gejala deglobalisasi yang akhir-akhir ini terjadi merupakan potensi akan timbulnya konflik besar pada masa depan.
Pentingnya penguatan ketahanan nasional di segala aspek harus berjalan selaras dengan optimalisasi kemandirian industri dalam negeri.
Hilirisasi industri untuk penguatan produksi dalam negeri serta kapabilitas pertahanan, menjadi kunci bagi negara kita untuk tetap bertahan di tengah gempuran era baru deglobalisasi.
Bagaimanapun juga, negara yang kuat di sektor ekonomi dan pertahanannya akan memiliki potensi untuk survive dalam kondisi konflik geopolitik bagaimanapun juga yang semakin tak menentu di era saat ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.