Dari 25 persen ekuitas dari ekuitas tersebut, sebesar 60 persen berasal dari konsorsium Indonesia karena menjadi pemegang saham mayoritas.
Baca juga: Kilas Balik Kereta Cepat, Minta Konsesi 50 Tahun, tapi Ditolak Jonan
Dengan demikian, pendanaan dari konsorsium Indonesia ini sekitar 15 persen dari proyek, sedangkan sisanya sebesar 85 persen dibiayai dari ekuitas dan pinjaman pihak China, yang awalnya disepakati tanpa jaminan dari Pemerintah Indonesia dan penggunaan APBN.
Namun belakangan pemerintah merevisinya, di mana APBN bisa dikucurkan untuk menyelamatkan proyek ini ancaman mangkrak.
Pemerintah sendiri saat ini sudah dua kali mencairkan APBN untuk proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung. Pertama sebesar Rp 4,3 triliun pada tahun 2021 dan berikutnya sebesar Rp 3,4 triliun pada 2022.
Kedua PMN disalurkan ke proyek KCJB melalui skema penyertaan modal negara PMN KAI.
Baca juga: Ekonom: Proyek Kereta Cepat Masuk Kategori Jebakan Utang China
Sedangkan pinjaman CBD (sebelum pembengkakan biaya) diperkirakan mencapai 4,55 miliar dolar AS atau setara Rp 64,9 triliun.
Uang pajak rakyat dikucurkan ke proyek KCJB terpaksa dilakukan pemerintah guna memenuhi syarat kecukupan modal dasar alias base equity capital.
Tercatat, base equity capital yang mesti dibayar oleh konsorsium BUMN yakni PT Kereta Api Indonesia (KAI) senilai Rp 440 miliar, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk senilai Rp 240 miliar, PT Jasa Marga (Persero) Tbk senilai Rp 540 miliar dan PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII) senilai Rp 3,1 triliun.
Semula PTPN VIII akan menyetorkan modal dalam bentuk tanah di daerah Walini Kabupaten Bandung Barat. Namun hal itu tidak disetujui oleh konsorsium.
Baca juga: Kata Ekonom, Proyek KCJB Sudah Melenceng Jauh dari Janji B to B Jokowi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.