TIDAK dapat dipungkiri bahwa pesantren mempunyai catatan sejarah panjang dalam melakukan karya-karya pelayanan dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia.
Karya-karya pelayanan dan pemberdayaan masyarakat yang pernah dilakukan meliputi bidang keagamaan, pengembangan sumber daya manusia (SDM), sosial-budaya, dan ekonomi.
Lahirnya organisasi Nahdlatul Tujjar pada 1918, yang diprakarsai kelompok pesantren tradisionalis, merupakan bukti sejarah bahwa pesantren memiliki kepedulian tinggi terhadap kemaslahatan hidup warga masyarakat di sekitarnya.
Pesantren mendidik para santrinya untuk senantiasa mempertahankan nilai-nilai lama yang relevan, dan mengambil hal-hal baru yang lebih bermanfaat bagi masyarakat (Al mukhafadzatul 'alal qodim ash-sholih wal akhdzu bil jadid al ashlah).
Pesantren juga menyiapkan para santri menjadi pemimpin masyarakat yang mendasarkan segala tindakan dan keputusannya di atas pertimbangan kemaslahatan (Tasharroful imam ala arro'iyah manutun bil maslahah).
Menyadari peran besar yang dimainkan pesantren, maka pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
UU tersebut dijadikan landasan hukum bagi pengakuan atas peran pesantren dalam membentuk, mendirikan, memelihara, dan membangun NKRI.
Terkait hal itu, peneliti dari Institut Agama Islam Al Falah Assunniyah Kencong Jember Fauzan Adhim (2020) menyebutkan bahwa urgensi dan peran strategis pesantren dalam konteks pembangunan ekonomi didasarkan pada enam faktor.
Pertama, kemajuan ekonomi pesantren dapat menjadi stimulus finansial bagi kegiatan dan pengembangan pesantren.
Kedua, ekonomi perkembangan masyarakat. Ketiga, menjadi ekosistem ekonomi berbasis syariah. Keempat, merangsang jiwa kewirausahaan santri.
Kelima, mendorong laju pertumbuhan ekonomi mikro-menengah; dan keenam, mewujudkan kemandirian kelembagaan dan mengurangi ketergantungan keuangan eksternal.
Menurut dia, selain sebagai lembaga tafaqquh fiddin, pesantren saat ini dituntut untuk mampu melakukan upaya pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat di sekitar pensantren.
Atau, setidaknya pesantren dapat melakukan upaya pemberdayaan ekonomi yang dapat meringankan biaya operasionalnya sendiri, dan memberi subsidi bagi para santri dan orang/wali santri.
Terkait hal ini, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren.
Bahkan, untuk memberikan landasan hukum bagi pengakuan atas peran pesantren dalam membentuk, mendirikan, memelihara dan membangun NKRI, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Dengan demikian, peraturan ini mempunyai implikasi bagi pemerintah untuk bertanggung jawab membantu pesantren dalam menjalankan proses belajar-mengajar.
Komitmen pemerintah untuk ikut bertanggung jawab terhadap pesantren harus dihargai karena meskipun telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka, masih banyak pesantren yang masih jauh dari kemandirian.
Memang, pada mulanya pesantren berkomitmen mengembangkan daerah terbelakang yang terjerat masalah sosial seperti kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan.
Namun, dalam perkembangannya, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang membentuk hubungan timbal balik dengan masyarakat di sekitar, sehingga menjadi sangat bergantung pada uluran tangan masyarakat.
Selama ini ada anggapan bahwa proses pembelajaran bagi para santri di pesantren hanya terfokus pada bidang ilmu agama. Padahal, dalam kenyataannya tidaklah demikian.