Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Sudarsono
Guru Besar Universitas Indonesia

Prof Dr Sudarsono, Koordinator riset klaster “economy, organization and society” FISIP UI.

Keterlekatan Teritorial dalam Koperasi: Tereduksi dan Terabaikan

Kompas.com - 29/11/2023, 15:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DIBANDINGKAN koperasi di berbagai belahan dunia, koperasi di Indonesia tidak mengenal, atau mengabaikan modalitas keterlekatan teritorial.

Koperasi di lingkungan TNI/Polri memiliki modalitas dalam membangun keterlekatan teritorial, dengan dibentuknya primer, Pusko, dan Inko.

Namun, karena ekonomi politik regulasi koperasi di Indonesia tidak secara tegas mengaitkan antara “asset specificity yang dimiliki dan diproduktifkan oleh anggota” dengan “jenis dan bisnis inti koperasi”, maka sinergi antara keterlekatan teritorial dengan dua keterlekatan lain, yakni moral dan sosial, cenderung lemah.

Koperasi Unit Desa (KUD), yang diatur dengan Inpres 4/1984, juga memiliki modalitas kuat keterlekatan teritorial.

Dalam satu desa atau unit desa hanya dibangun satu KUD. Pada struktur vertikal dibangun PusKUD dan InKUD, masing-masing sebagai koperasi sekunder dan tersier.

Sayang, embrio keterlekatan teritorial ini, tereduksi justru oleh design organisasional KUD itu sendiri.

Pasal 1, Inpres 4/1984 berbunyi: “Koperasi Unit Desa (KUD) dibentuk oleh warga desa dari suatu desa atau sekelompok desa-desa yang disebut unit desa, yang dapat merupakan satu kesatuan ekonomi masyarakat terkecil”.

Pertama, pengaturan ini, tidak secara tegas menunjuk karakteristik assest specificity yang dikuasai dan dikerjakan secara produktif oleh anggota.

Kedua, meskipun bisnis inti sebagian besar KUD adalah bidang produksi pertanian, yakni distribusi saprotan dan hasil pertanian, KUD tidak dirancang secara tegas sebagai koperasinya petani atau koperasi pertanian.

Inilah yang menjelaskan mengapa keterlekatan sosial dan moral tidak tumbuh menjadi pilar kekuatan organisasi KUD. Alih-alih tumbuh dan menguat, hal ini justru mereduksi potensi keterlekatan teritorial KUD.

Ketiga, berkumpulnya semua orang satu desa dan satu unit desa di dalam KUD, per definisi, mengumpulkan semua potensi sinergi dan sekaligus potensi kontradiksi di dalam satu wadah organisasi.

Moral hazard, agency problem dan manisfestasi opportunistic behavior jelas menjadi beban dan ancaman langsung organisasional KUD.

Keempat, rumusan Pasal 1 menyimpan tanda tanya strategis, siapakah yang dimaksud dengan “satu kesatuan ekonomi masyarakat terkecil” itu: usaha individu, KUD, Desa, atau Unit Desa?

Bila suatu Unit Desa adalah “satu kesatuan ekonomi masyarakat terkecil”, apakah berarti Unit Desa itu merupakan suatu collective business entity?

Berkaca pada collective farming di Eropa Timur, China dan Uni Soviet, yang gagal total, maka dapat dipahami bila konsep kolektifitas unit desa juga menjadi museum kegagalan massal KUD.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com