Apa perbedaan antara Hakim MK dan Anggota Persatuan Insinyur Indonesia (PII), dalam konteks kerangka kognitif, moralitas dan motif bisnis, serta politik dan tata negara?
Dalam pandangan new institutionalism, konstruksi perilakunya sama saja. Mereka itu cenderung (tend to be) mendemonstrasikan opportunistic behavior, bila ada peluang dan kesempatan.
Itu sebabnya, mengapa soal moral hazard dan agency problem, menjadi sangat penting dipertimbangkan di dalam rancangan organisasi apapun.
Antisipasi organisasional berupa safeguard mechanism harus dirancang ex ante dan ex post contract.
UU dan peraturan perundangan yang lain dapat digunakan sebagai safeguard mechanism di level makro.
Peraturan internal organisasi, AD atau bylaws, dapat berperan menjadi safeguard mechanims di level meso. Demikian juga standar etik dan moral berpotensi menjadi safeguard mechanism pada level mikro.
Samar-samar ada dasar pengaturan ke arah keterlekatan teoritorial di dalam UU 25/1992, yakni pada Pasal 1, mengenai definisi koperasi primer dan koperasi sekunder.
Tetapi, pertama, tidak ada elaborasi lebih lanjut terkait koperasi sekunder ini, dan apakah di wilayah Indonesia yang luas, hanya akan dibuka struktur sekunder tanpa struktur tersier?
Kedua, seperti juga koperasi yang didirikan sebelum dan sesudah berlakunya UU 25/1992, tidak secara jelas kaitan antara “asset specifity yang dikuasai dan diproduktifkan oleh anggota” dengan bisnis inti koperasi, maka lemah sekali sinergi antara keterlekatan teriorial dan keterlekatan moral dan sosial.
Pengabaian pentingnya kerterlekatan teritorial juga tercermin dalam PermenKop UKM 8/2021 tentang Koperasi Dengan Model Multi Pihak (KMP). Pengaturan Pasal 1 UU 25/1992 hanya diturunkan langsung tanpa elaborasi, yakni menjadi Pasal 2 PerMenkop UKP 8/2021.
Sebenarnya, struktur vertikal itu dimaksudkan untuk menjadi dasar pembangunan keterlekatan teritorial, sekaligus supaya terdapat sinergi dengan keterlekatan moral dan keterlekatan sosial dalam arena koperasi.
Tiadanya elaborasi tentang koperasi sekunder, dan apalagi tersier, mengundang pertanyaan mendasar, pertama, arah pengembangan KMP itu didasarkan pada keterlekatan (moral, sosial dan teritorial) seperti apa?
Kedua, apakah soal interpretasi dan pengembangan pilar organisasional ini diserahkan sepenuhnya kepada para pihak terkait KMP?
Atau, dengan kata lain, apakah pengaturan tentang safeguard mechnisms organisasional hanya diserahkan pengaturannya ke dalam Anggaran Dasar suatu KMP? Bagaimana kalau di dalam AD KMP juga tidak diatur safeguard mechanism?
Semua jenis, bentuk dan jenjang koperasi, banyak di antaranya yang telah berkembang menjadi jaringan raksasa usaha, di berbagai belahan dunia, memiliki landasan kuat terkait keterlekatan teritorial, selain sosial dan moral.