Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Kondisi APBN bila Prabowo Beri Makan dan Susu Gratis

Kompas.com - 22/12/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ADA joke politik yang kocak di kalangan para politisi Inggris, "apa perbedaan PM Boris Johnson dan rambutnya? Rambutnya tak pernah berbohong."

Janji politik boleh sili berganti, namun rambut Boris Johnson tetap berantakan.

Yang dipegang dari politisi adalah janjinya. Setiap momentum politik, janji-janji politik datang berdedai. Dan yang dipegang rakyat dalam siklus demokrasi lima tahunan adalah "janji suci politik".

Di antara janji politik yang menarik jelang Pilpres 2024 di Indonesia, adalah makan siang dan susu gratis di sekolah.

Program ini ditujukan untuk anak-anak sekolah miskin. Pada 40 persen kelompok masyarakat dengan pendapatan terendah. Dalam rangka mendukung asupan protein anak yang lemah secara ekonomi.

Program makan siang dan minum susu gratis di sekolah, adalah kebijakan yang berdampak pada ekspansi fiskal—peningkatan belanja dalam postur APBN.

Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming merilis, untuk program tersebut, butuh anggaran sekitar Rp 400 triliun.

TKN Prabowo-Gibran katakan, selain dari optimalisasi sumber penerimaan negara, sumber pembiayaan juga berasal dari berbagai komponen belanja dalam bentuk refocusing dan realokasi dari berbagai sumber, khususnya kementerian sektoral seperti kementerian pendidikan dan kesehatan. Ini idenya yang perlu digali lebih dalam, karena berdampak pada APBN ke depan.

Pasalnya, untuk realokasi dan refocusing, akan berdampak pada kinerja kementerian/lembaga terkait.

Pada era Jokowi, paradigma anggaran itu "money follow the program". Jadi angka-angka rupiah dalam APBN diestimasi mengikuti program yang sudah dicanangkan dengan berbasiskan pada asumsi makro APBN.

Jadi kalau mau kasih makan dan minum susu gratis, maka kapasitas fiskal harus digenjot dulu. Rasio penerimaan negara harus dikerek. Dengan demikian, peningkatan belanja bisa di-cover—karena ada ruang fiskal yang tersedia dan cukup.

Terkadang kita salah kaprah, mengira APBN seperti uang cash di tangan, tidak! APBN adalah cita-cita mulia pembangunan. Isinya adalah asumsi selama satu periode anggaran.

Janji-janji suci pembangunan bisa dijalankan lewat belanja APBN, bila pemerintah memiliki kapasitas fiskal yang cukup melalui penerimaan negara.

Makan dan minum susu gratis

Bila program makan dan minum susu gratis dijalankan, maka terjadi tambahan belanja APBN sebesar Rp 400 triliun. Meningkatkan belanja negara dari Rp 3.276,8 triliun menjadi Rp 3.676,8 triliun.

Hal ini akan berdampak pada peningkatan defisit anggaran dari minus Rp 838,9 triliun menjadi minus Rp 1.238,9 triliun, atau sekitar 6,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Defisit anggaran ini harus ditutup dengan pembiayaan anggaran, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang tentunya akan menambah beban utang negara.

Peningkatan APBN yang signifikan ini sumbernya dari mana? TKN Prabowo-Gibran, harus secara runtut dan teknokratis memaparkan janji politik dimaksud dari sisi tata kelola fiskal.

Karena apapun janji politik, alat refleksinya adalah kapasitas fiskal. Di sinilah ukuran kita untuk menilai, suatu program itu feasible atau tidak dilaksanakan.

Terkait ruang fiskal, mayoritas penerimaan negara adalah dari pajak. Pada 19 Desember lalu, harian Bisnis merilis, nyatanya daya apung atau tax buoyancy secara historis, rata-rata berada pada kisaran 0,8. Artinya, setiap 1 persen peningkatan kinerja PDB, tax revenue hanya naik sebesar 0,8 persen (<1)

Dengan demikian, dalam kondisi ekonomi normal setoran pajak tidak elastis. Ini menunjukkan sistem pajak tidak efisien dalam mengumpulkan penerimaan pajak sesuai dengan potensi ekonomi.

Jadi kita runut dulu dari fundamentalnya—berupa potensi ekonomi, tax effort hingga pada praksis APBN yang acceptable terhadap berbagai janji politik, termasuk makan dan minum susu gratis.

Jadi angka Rp 400 triliun itu tidak muncul seperti pemain sulap di pasar, hanya dengan Sim Sala Bim.

Exit way

Agar defisit APBN tetap dalam rentang kendali UU (tak lebih 3 persen PDB), maka penerimaan negara pada 2025 harus mencapai Rp 2.837,9 triliun, yang terdiri dari Rp 2.297,9 triliun penerimaan pajak dan Rp 540 triliun penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Hal ini berarti penerimaan negara harus tumbuh sebesar 16,4 persen tahun 2024.

Untuk mencapai positioning APBN yang dapat memenuhi janji politik, maka terobosan-terobosan penting harus dilakukan.

Pertama, melanjutkan penguatan reformasi perpajakan, baik secara administrasi maupun regulasi.

Kedua, melanjutkan upaya perluasan basis pajak sebagai tindak lanjut Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan mempercepat implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP.

Tantangan terberat pemerintah adalah, capaian penerimaan pajak yang masih jauh dari potensi pajak.

Sebagai contoh, penerimaan pajak Indonesia pada 2022 mencapai Rp 1.716,8 triliun atau setara 115,6 persen target yang tertuang dalam Perpres 98/2022 senilai Rp 1.485 triliun.

Penerimaan pajak tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 34,3 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Sementara itu, potensi pajak Indonesia pada 2022 diperkirakan sebesar Rp 2.861,3 triliun. Hal ini berarti penerimaan pajak Indonesia pada 2022 baru mencerminkan 60 persen total potensi pajak yang dimiliki Indonesia. Masih ada 40 persen potensi pajak yang seharusnya bisa digali oleh pemerintah.

Ketiga, melakukan percepatan implementasi core tax system dan meningkatkan aktivitas digital forensic untuk mendukung penegakan hukum pajak.

Keempat, mengoptimalkan PNBP melalui penyempurnaan regulasi, perbaikan pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan aset negara.

Demikian juga peningkatan nilai tambah ekonomis, penguatan tata kelola, peningkatan inovasi dan kualitas layanan publik serta optimalisasi dividen BUMN terutama BUMN yang menerima Pernyataan Modal Negara (PMN)

Tak apa janji politik itu manis, asalkan janji-janji itu bisa diterima oleh rasionalitas publik. Setidaknya publik membutuhkan jawaban yang memadai. Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com