Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ana Mustamin
Profesional

Anggota Dewan Pakar BS Center

Kualitas Capres, Nilai Sejati atau Nilai Pasar?

Kompas.com - 17/01/2024, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Secara ideal, seorang pemimpin paling tidak memiliki kemampuan untuk memengaruhi orang lain (influence) dengan cara mendorong, memotivasi dan membimbing orang lain untuk berpikir atau bertindak; memiliki visi jelas yang ingin dicapai di masa depan; jujur dan bisa dipercaya (honestly).

Lalu bersemangat (passion) tinggi; memiliki integritas (integrity) yang mengacu pada sikap tulus dalam memutuskan untuk melakukan hal yang benar setiap saat; berdedikasi (dedication) dan menunjukkan dedikasinya dengan menepati janji dan menaklukkan tantangan untuk mencapai tujuan.

Selain itu, memiliki kemampuan untuk memahami perasaan dan emosi orang lain (emphaty) dan merespons tindakan dan perilaku dengan cara yang menunjukkan pemahaman terhadap perasaan orang lain.

Seorang pemimpin juga selalu bersemangat untuk melanjutkan pengembangan pribadi (personal development) karena tahu selalu ada hal baru yang dapat dipelajari; memiliki rasa hormat (respect) mengacu pada perasaan kagum terhadap kualitas, kemampuan, atau pencapaian seseorang dan menghargai hak, keinginan, dan perasaan orang lain; memiliki ketahanan (resilience) untuk menghadapi kesulitan; mampu beradaptasi (adaptibility) terhadap setiap perubahan; memiliki sifat dan sikap yang otentik (authenticity) yang bersumber dari kejujuran pribadi; serta memiliki kerendahan hati (humility) yang memungkinkan para pemimpin untuk tetap sehat secara etis dan moral.

Tentu saja, tidak ada seorang pun yang memiliki semua karakteristik ideal tersebut. Namun demikian, kita bisa menyepakati bahwa semakin besar irisan (intersection) antara karakteristik pribadi dengan karakteristik ideal dimaksud, tentu semakin tinggi nilai sejati atau nilai fundamental seorang pemimpin.

Dalam dua kali debat capres dan sekali debat cawapres yang diselenggarakan oleh KPU, nilai fundamental capres sedikitnya terkuak dan diakses oleh masyarakat luas.

Yang paling mudah diamati, misalnya, siapa capres yang agresif, atau siapa capres yang bisa mengendalikan atau sebaliknya sulit mengendalikan emosi.

Nilai fundamental atau nilai sejati capres juga bisa diukur melalui konsistensi mereka dalam bersikap dan mengemukakan pendapat, dan bagaimana kata dan perbuatan tidak saling bertentangan.

Di luar itu, masyarakat tentu berupaya mencari rekam jejak dari masa lalu masing-masing capres.

Akan tetapi, sekali lagi, pemilu bukan persaingan yang sempurna. Bahkan di bursa saham yang mendekati persaingan sempurna pun, investor bisa salah.

Hubungan antara kondisi objektif capres (di pemerintahan/tidak di pemerintahan, latar belakang sosial ekonomi – bahkan hingga yang menyangkut ras, agama dan golongan), dan nilai fundamental capres, bukan hal yang bisa diasumsikan bersifat searah.

Kondisi objektif tersebut memang menentukan “nilai relatif” atau “nilai pasar” capres di mata publik – namun nilai tersebut bisa saja sama dan sebangun dengan nilai fundamental, namun bisa juga bertentangan.

Valuasi nilai capres terus berlangsung dari waktu ke waktu. Bukan hanya melalui serangkaian aksi kampanye yang dilakukan oleh tim pemenangan capres atau oleh capres itu sendiri, tapi juga oleh masyarakat pendukung melalui media sosial.

Pengaruh faktor-faktor di atas, tentu saja sepenuhnya memengaruhi peringkat elektabilitas. Bahwa sebagian besar masyarakat menentukan pilihannya lebih mengacu pada “nilai pasar” capres misalnya, ini poin penting yang harus dipahami.

Termasuk memahami bagaimana tim pemenangan mengelola “nilai pasar” tersebut, sehingga seorang capres di masa lalu misalnya, secara relatif dapat lebih dipertimbangkan sebagai capres yang elegan, berwibawa, gagah; tapi tidak terlalu dipersoalkan sebagai seseorang yang peragu dan lamban – meskipun yang terakhir ini lebih fundamental jika ditinjau dari perspektif kepemimpinan.

Karena itu jangan heran jika kita menemukan banyak jargon dalam kampanye. “Indonesia absence no more, respected forever, aminkan saja”. Atau “gemoy dan lanjutkan”. Juga “sat set, gerak cepat, Indonesia unggul”.

Apakah sekadar memoles “nilai pasar”? Atau memang beririsan dengan “nilai sejati atau fundamental” capres?

Anda sebagai pemilih yang menentukan. Jika Anda mengabaikan nilai fundamental, maka spekulan akan bersorak!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com