Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Mengurai Janji Capres-Cawapres Menaikkan Rasio Pajak

Kompas.com - 05/02/2024, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Rasio pajak dapat turun jika pertumbuhan ekonomi ternyata melampaui proyeksi yang ditetapkan, yang pada dasarnya merupakan hal positif. Yang menjadi masalah adalah jika realisasi penerimaan pajak tidak mencapai target yang ditetapkan.

Sejak tahun 2000, rasio pajak nasional terus berfluktuasi di sekitar 10 persen, dengan puncaknya sebesar 12,5 persen di 2008. Setelah itu, nilainya tidak pernah melebihi angka tersebut dan cenderung mengalami penurunan hingga menyentuh 8,3 persen di 2020.

Ini tentu menjadi tantangan besar. Pada 2023, nilai produk domestik bruto nasional diperkirakan mencapai Rp 22.000 triliun. Artinya, untuk mencapai satu persen rasio pajak, penerimaan pajak harus ditargetkan sebesar Rp 220 triliun. Angka ini belum mencakup 5, 10, hingga 20 persennya.

Oleh karena itu, menetapkan target rasio pajak tidak bisa dilakukan sembarangan. Ketercapaiannya harus dipertimbangkan dengan matang, apalagi keputusan ini menyangkut kesejahteraan masyarakat.

Umumnya, peningkatan rasio pajak dapat dicapai melalui dua cara utama. Pertama, dengan menggali potensi dari sumber penerimaan yang memang telah ada. Misalnya, dengan meningkatkan kepatuhan dan menindak pengemplangan pajak. Upaya ini yang kini terus dilakukan secara konsisten.

Namun, metode ini membutuhkan upaya berkelanjutan, dan tidak dapat membuat rasio pajak melonjak tinggi dalam waktu singkat.

Terlebih lagi, Indonesia menjadi salah satu negara dengan kerugian penerimaan pajak tertinggi setiap tahunnya, seperti yang telah saya bahas dalam artikel “Haruskah Lapor Harta dalam SPT Tahunan?” (Kompas.com, 23/1/2024).

Cara kedua, yang korelasinya lebih jelas, adalah dengan menaikkan langsung tarif pajak dan menambah jenis pajak baru.

Langkah ini dapat menjadi jalan pintas meningkatkan penerimaan pajak. Namun kenaikan harga dan potongan penghasilan yang ditimbulkan akan langsung dirasakan masyarakat.

Tak hanya itu, keputusan ini sering kali menimbulkan polemik, yang justru berpotensi menurunkan kepatuhan perpajakan dan mendorong perilaku penghindaran pajak. Sebagai contoh, kenaikan pajak hiburan tertentu yang terjadi belakangan ini.

Seperti yang saya bahas dalam artikel “Mengurai Polemik Kenaikan Pajak Hiburan” (Kompas.com, 29/1/2024), meski tidak berdampak pada semua segmen masyarakat, kenaikan pajak hiburan tertentu tetap menuai polemik yang meluas.

Hal ini menunjukkan, meskipun janji menaikkan rasio pajak memperoleh dukungan masyarakat, praktiknya di lapangan tidak selalu sejalan dengan dukungan awal tersebut.

Mengetatkan aturan pajak memang menjadi bagian yang tak terhindarkan jika menginginkan kenaikan rasio pajak. Menjanjikan keringanan pajak akan sangat sulit untuk sejalan dengan menjanjikan kenaikan rasio pajak.

Di tahun 2025 mendatang, akan ada kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dan pemberlakuan pajak karbon sebagai jenis pajak baru. Langkah ini merupakan wujud konkret dari upaya meningkatkan rasio pajak.

Keputusan ini akan memberikan beban inflasi pada harga komoditas yang ditanggung masyarakat. Namun, dampaknya telah dipertimbangkan secara matang sejak Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan diusulkan pada 2021.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com