Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nuri Taufiq
Pegawai Negeri Sipil

Statistisi di Badan Pusat Statistik

Antara Beras, Rokok, dan Kemiskinan

Kompas.com - 15/02/2024, 12:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI TENGAH gegap gempita pesta demokrasi rakyat Indonesia yang baru saja kita lalui, nampaknya kita masih terus dihantui kenaikan harga beras. Bahkan harga beras diperkirakan bakal terus melonjak beberapa waktu ke depan.

Dikutip dari panel harga pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) per 14 Februari 2024 dalam seminggu terakhir di tingkat harga pedagang eceran, tercatat harga beras premium naik 0,82 persen mencapai Rp 15.950 per kilogram. Sedangkan harga beras medium naik 0,36 persen menjadi Rp 13.910 per kilogram.

Selain itu, secara historis jika dibandingkan tahun 2023, beras premium dan beras medium mengalami kenaikan cukup tinggi masing-masing sebesar 16,26 persen dan 16,33 persen.

Masih berdasarkan data dari Bapanas, bila ditinjau lebih dalam menurut provinsi, maka angka ini membuat kian jauh dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 13.900-Rp 14.800 untuk beras premium dan Rp 10.900-Rp 11.800 untuk beras medium.

Bahkan di seluruh provinsi per 14 Februari 2024, baik beras premium dan beras medium memiliki harga di atas HET dengan posisi lebih dari 5 persen.

Tidak hanya beras, komoditas rokok juga mengalami kenaikan harga. Tarif cukai hasil tembakau (CHT) resmi naik pada 2024.

Dengan demikian, harga rokok akan semakin mahal pada tahun ini, di mana tarif CHT seperti untuk rokok ditetapkan naik rata-rata sebesar 10 persen pada 2024.

Dalam konteks pengukuran angka kemiskinan di Indonesia, komoditas beras dan rokok merupakan dua komoditas yang memberikan sumbangan terbesar dalam pembentukan nilai garis kemiskinan di Indonesia, baik daerah perkotaan maupun perdesaan.

Dikutip dari Berita Resmi Statistik yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2023 yang lalu, beras menyumbang sebesar 19,35 persen di perkotaan dan 23,73 persen di perdesaan dalam pembentukan garis kemiskinan Maret 2023.

Sementara rokok dalam hal ini adalah rokok kretek filter merupakan kontributor terbesar kedua pada garis kemiskinan setelah beras yang menyumbang 12,14 persen di perkotaan dan 11,34 persen di perdesaan.

Dengan adanya kenaikan harga beras dan kenaikan tarif cukai hasil tembakau secara simultan pada awal tahun ini, maka berpotensi meningkatkan nilai garis kemiskinan yang tinggi khususnya pada komponen garis kemiskinan makanan.

BPS mendefinisikan garis kemiskinan makanan ini sebagai representasi nilai pengeluaran kebutuhan dasar minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari.

Komoditi kebutuhan dasar makanan ini diwakili oleh 52 jenis keranjang komoditi makanan mulai dari beras, daging ayam ras, telur ayam ras, dll sampai dengan rokok kretek filter.

Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada 52 jenis keranjang komoditi ini, maka akan berpotensi meningkatkan rata-rata harga per kalori.

Sehingga pada saat disetarakan dengan 2100 kilokalori menjadi nilai rupiah dalam garis kemiskinan makanan, yang akan ditambah dengan komponen garis kemiskinan non makanan, maka akan menghasilkan garis kemiskinan total yang semakin besar.

Jika tidak diimbangi dengan meningkatnya daya beli masyarakat yang lebih tinggi dari kenaikan garis kemiskinan, maka berpotensi menyebabkan mereka yang rentan miskin jatuh ke bawah garis kemiskinan.

Dampak di kelompok bawah

Mengutip dari buku Publikasi yang berjudul Ringkasan Eksekutif Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia Maret 2023 yang dirilis BPS, terlihat jelas adanya perbedaan pola konsumsi antara penduduk kelompok kesejahteraan terbawah dengan kelompok teratas yang dalam hal ini dibagi menurut kelompok 20 persen.

Penduduk pada kelompok 20 persen terbawah memiliki kerentanan yang lebih tinggi terkait kenaikan harga pangan. Di mana proporsi pengeluaran makanan mereka lebih besar dibandingkan dengan kelompok 20 persen teratas.

Mereka yang berada pada kelompok 20 persen terbawah harus mengalokasikan 62,37 persen total pengeluaran mereka untuk makanan. Sementara pada penduduk kelompok 20 persen teratas porsi untuk pengeluaran makanan hanya 39,42 persen dari total pengeluaran mereka.

Menilik lebih dalam lagi masih dari publikasi yang sama, tercatat penduduk pada kelompok 20 persen terbawah ini harus mengalokasikan sebesar 20,25 persen untuk jenis komoditi padi-padian dan sebesar 11,54 persen untuk komoditi rokok dan tembakau dari total pengeluaran makanan mereka.

Bandingkan dengan kelompok penduduk 20 persen teratas. Mereka hanya mengalokasikan sebesar 7,40 persen untuk komoditi padi-padian dan sebesar 11,35 persen untuk komoditi rokok dan tembakau dari total pengeluaran makanan mereka.

Besarnya proporsi pengeluaran kelompok penduduk 20 persen terbawah untuk beras utamanya, mengindikasikan bahwa jika harga komoditi ini terus naik, maka kelompok penduduk inilah yang paling terdampak.

Pendapatan mereka akan semakin banyak tergerus untuk memenuhi kebutuhan pangan, terutama beras.

Hal ini dapat berdampak pada menurunnya kualitas beras yang mampu untuk dikonsumsi atau harus dengan mengurangi alokasi belanja mereka agar mampu membeli beras. Misalnya dengan mengurangi belanja untuk biaya kesehatan atau bahkan pendidikan keluarga mereka.

Termasuk halnya dengan komoditas rokok. Kelompok terbawah bahkan tercatat rela mengalokasikan sebesar 11,54 persen dari total pengeluaran makanan mereka hanya untuk komoditas rokok dan tembakau. Semestinya bisa mereka belanjakan untuk membeli beras daripada membeli rokok.

Baik di kelompok terbawah maupun teratas sama-sama mengalokasikan sekitar 11 persen dari pengeluaran makanan mereka untuk mengonsumsi rokok dan tembakau.

Namun kelompok penduduk 20 persen terbawah justru memiliki proporsi yang sedikit lebih tinggi, yaitu 11,54 persen dibandingkan 11,35 persen untuk kelompok 20 persen teratas.

Kondisi ini tentu cukup memprihatinkan. Penduduk kelompok terbawah akan terkena dampak lebih berat dengan kenaikan harga beras maupun rokok. Mereka kemungkinan besar akan mengurangi alokasi belanja komoditi yang lain untuk memenuhi kebutuhan beras dan rokok.

Jika pengurangan alokasi belanja komoditi lain itu digunakan untuk membeli beras, menurut saya, masih dapat diterima. Namun jika untuk sekadar membeli rokok, kurang tepat.

Bahkan yang cukup memprihatinkan, seperti dikutip dari laman Kementerian Kesehatan, secara sosial ekonomi angka yang digunakan untuk belanja rumah tangga rokok lebih tinggi daripada angka yang digunakan untuk belanja makanan bergizi.

Baik beras dan rokok adalah komoditas yang banyak dikonsumsi oleh penduduk kelompok terbawah. Pada saat yang sama, kedua komoditi ini merupakan komoditi yang masuk dalam keranjang komoditi untuk menghitung garis kemiskinan.

Bayang-bayang kenaikan garis kemiskinan khususnya pada komponen garis kemiskinan makanan yang tinggi pada 2024 nampaknya tidak bisa terelakkan jika tidak ada perbaikan, khususnya terkait harga beras.

Pasalnya pendataan lapangan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024 akan segera dilakukan guna memotret kondisi sosial ekonomi masyarakat, termasuk untuk mengukur kemiskinan.

Kondisi ini tentu perlu untuk mendapat perhatian dan kewaspadaan dari pemerintah dan para pemangku kepentingan terkait di tengah gegap gempita pesta demokrasi, untuk tidak terlena dan harus terus melakukan upaya-upaya perbaikan penstabilan harga beras dengan menjaga keseimbangan harga beras mulai dari tingkat produsen dan konsumen termasuk dengan mengelola persediaan yang ada.

Termasuk dengan rokok, upaya memberikan pemahaman melalui edukasi kepada masyarakat terkait rokok juga harus terus digaungkan, terlebih lagi bagi penduduk kelompok terbawah.

Pengeluaran untuk rokok idealnya bisa mereka alokasikan untuk pemenuhan kebutuhan yang lain sehingga bisa berdampak dan memutus mereka dari rantai kemiskinan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com