Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Rafi Bakri
PNS BPK

Analis Data dan Keuangan Badan Pemeriksa Keuangan

Menakar Pembentukan Badan Penerimaan Negara

Kompas.com - 23/02/2024, 10:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Setidaknya, terdapat tiga faktor lain yang memengaruhi penerimaan pajak, yaitu tingkat ekonomi, struktur ekonomi, dan demografi sosial. Indonesia perlu menyeimbangkan keseluruhan variabel tersebut agar tax ratio Indonesia dapat meningkat signfikan.

Dikaji lebih jauh, penyebab belum maksimalnya penerimaan pajak di Indonesia karena tingkat dan struktur ekonomi Indonesia. Hal ini disebabkan karena 60,5 persen PDB Indonesia disumbang oleh pelaku UMKM.

Namun, porsi UMKM dalam menyumbang penerimaan pajak kepada negara tidak sebanyak itu. Ketika peningkatan GDP yang lebih banyak dibanding dari penerimaan pajak atas UMKM, maka sangat wajar akan terjadi stagnansi atau bahkan penurunan tax ratio Indonesia.

Salah satu penyebab rendahnya kontribusi pajak dari UMKM adalah kurangnya kemampuan mereka dalam melakukan administrasi perpajakan dan pembukuan.

Kondisi ini membuat pelaku UMKM kesulitan melaksanakan kewajiban mereka sebagai wajib pajak. Selain itu, banyak bisnis berskala mikro di Indonesia tidak memahami laporan keuangan dan perpajakan.

Kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan juga memengaruhi penerimaan pajak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa sektor agraris berkontribusi 13,57 persen terhadap PDB atau senilai Rp 2.835 Triliun.

Pemerintah mengalami kesulitan melacak penghasilan pelaku usaha agraris karena mayoritas petani bekerja secara mandiri, bukan sebagai entitas bisnis.

Profesi petani juga bersifat subsisten sehingga orientasi petani hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan hidup, bukan komersial.

Selain itu, volalitas yang tinggi terhadap penghasilan petani juga memicu volalitas penerimaan pajak. Volalitas ini disebabkan ketergantungan usaha agraris terhadap kondisi iklim.

Dibanding membentuk badan penerimaan negara, Indonesia dapat lebih fokus terlebih dahulu dalam memaksimalkan potensi pajak yang ada.

Pembentukan badan independen di waktu yang kurang tepat bisa jadi membawa malapetaka bagi perpajakan Indonesia karena pembentukan lembaga baru tentunya membutuhkan penyesuaian yang tidak sebentar.

Penurunan tax ratio setelah penerapan sistem SARA dialami oleh beberapa negara, salah satunya Malaysia. Setelah melewati masa puncak di 1997, tax ratio Malaysia terus anjlok hingga 10,9 persen pada 2020.

Singapura juga mengalami penurunan tax ratio setelah pembentukan IRAS menjadi 13,1 persen pada 2021. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembentukan badan independen perpajakan tidak dapat menjamin terjadinya peningkatan pada tax ratio.

Keberhasilan pengadopsian sistem SARA juga sangat dipengaruhi kondisi pemerintahan dan politik di negara tersebut.

Otoritas independen tersebut akan menjalankan tugas dan fungsinya dengan lancar jika pemerintahan berlangsung dengan efektif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com