Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Edwison Firmana
PNS di Kementerian Kelautan dan Perikanan

Peminat isu lingkungan.

Menggugat Semangat Pungutan Hasil Perikanan

Kompas.com - 03/04/2024, 14:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEMENTERIAN Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah bersemangat menggaungkan perbaikan pengelolaan perikanan tangkap melalui kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) dan penarikan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) Pascaproduksi.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang berlaku pada KKP menetapkan PHP pascaproduksi pada kapal penangkap ikan berukuran hingga 60 GT adalah sebesar 5 persen nilai produksi dan pada kapal berukuran di atas 60 GT sebesar 10 persen.

Nilai produksi ditentukan berdasarkan nilai jual ikan dari nelayan ke pedagang. Bila Pemerintah tidak memperoleh nilai jual ikan tersebut, maka nilai produksi menggunakan harga acuan ikan (HAI) yang ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.

Penerapan PHP pascaproduksi menuai banyak protes. Terutama pada tarif sebesar 10 persen nilai produksi pada kapal berukuran di atas 60 GT dianggap terlalu besar.

Pemerintah memang belum pernah menampilkan hitungan ilmiah di balik penetapan tersebut. Pemerintah sebaiknya menunjukkan naskah akademik atau setidaknya kajian ilmiah yang mendasari pungutan perikanan tersebut.

Semangat pemerintah dalam melakukan pungutan atas pemanfaatan sumber daya ikan juga perlu dipertanyakan. Apakah semata-mata demi uang?

Pungutan seharusnya juga digunakan sebagai alat pengendalian agar pemanfaatan sumber daya hayati lestari.

Namun untuk mencapai itu, pertimbangannya tidak sesederhana berdasarkan tonase kapal penangkap ikan sebagaimana tertera di PP Nomor 85 Tahun 2021.

Bila semangat pungutan perikanan untuk perbaikan pengelolaan perikanan, maka pemerintah sebaiknya mempertimbangkan lebih banyak aspek.

Ada beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan untuk penetapan tarif PHP yang lebih adil dan komprehensif.

Pertama, dampak penggunaan alat penangkap ikan (API) dan Alat Bantu Penangkapan Ikan (ABPI) terhadap stok sumber daya ikan (SDI).

Setiap API memiliki laju tangkap berbeda. Laju tangkap ibarat produktivitas mesin dalam industri.

Contoh, kapal rawai tuna di Laut Banda mampu menangkap ikan tuna rata-rata sebanyak 1-4 ekor tuna sekali tebar (setting-hauling) dengan berat total maksimal sekitar 500 kg.

Sedangkan kapal pukat cincin di WPP 714 pada 2013 mampu mengeruk ikan tuna rata-rata 20.900 kg sekali setting-hauling.

Laju tangkap, yang dalam industri berpadanan dengan produktivitas, maka saya lebih suka menyebutnya “daya bunuh” karena menggambarkan volume ikan yang kita tangkap dan mati dalam sekali setting-hauling.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com