Berburu dividen pada jenis koperasi semacam itu membuat principal-agent problem menjadi berlipat ganda. Konflik kepentingan terjadi di mana anggota melalui Pengurus sebagai principal dan Pengelola sebagai agent, memiliki perspektif berbeda.
Sebagai contoh, anggota menghendaki harga layanan murah dan juga dividen tinggi. Pada koperasi dengan karakteristik non-distributif, hal tersebut kontradiktif dan tidak wajar.
Pada kasus tertentu, Pengelola sebagai agent karena berusaha mempertahankan posisi dan pekerjaannya membuat mereka berada di bawah tekanan.
Hal itu dapat mendorong mereka untuk berperilaku tidak etis, spekulatif, berisiko tinggi atau gegabah dalam mengelola investasi dan usaha.
Principal-agent problem itu muncul, misalnya, pada kasus di mana koperasi sesungguhnya merugi, namun tetap mengupayakan pembagian dividen.
Sumber dananya mereka upayakan dari aneka cara yang seringkali tidak akuntabel dan tidak wajar. Satu sisi bahwa tindakan tersebut merupakan hal yang salah. Pada sisi lain, boleh jadi paradigma serta desain organisasinya juga keliru.
Sayangnya, UU Perkoperasian kita mengisyaratkan bahwa pembagian dividen adalah normal pada semua jenis koperasi.
Artinya, meminjam terminologi Australia di atas, seluruh koperasi di Indonesia tergolong distributif atau berorientasi laba.
Hal itu terlihat pada Pasal 45 ayat 2 UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yang menyatakan, “Sisa Hasil Usaha setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan koperasi ....”.
Dari sanalah anggota menjadi termotivasi menuntut dividen tinggi tanpa memperhatikan karakteristik koperasinya.
Paradigma serta praktik baik Australia di atas boleh jadi perlu kita adopsi. Koperasi-koperasi yang berorientasi pada layanan tertutup dengan karakteristik non-distributif, sangat mungkin sedari awal mengatur dalam Anggaran Dasar untuk tidak membagikan dividen.
Sebaliknya, mereka akan menekan harga layanan serendah mungkin yang menjadi sumber keunggulan kompetitif koperasi.
Akumulasi dividen yang tidak dibagikan dapat menjadi sumber kekuatan dalam pengembangan usaha mereka.
Sedangkan pada koperasi-koperasi distributif, seperti produksi, pembagian dividen justru dapat menjadi salah satu indikator produktivitas usaha.
Peningkatan dividen menunjukkan usaha masih kompetitif di tengah persaingan pasar. Pembagian dividen tersebut memotivasi anggota untuk menjaga kualitas serta kuantitas pasokan, yang menjadi sumber kekuatan dalam pengembangan bisnis secara berkelanjutan.
Praktik Australia nampaknya tepat dalam mengklasifikasi koperasi ke dalam dua jenis itu. Mereka tepat dalam memahami nature of business masing-masing sektor usaha dengan desain organisasi yang sesuai atau simetris.
Sebaliknya di Indonesia yang terjadi kemungkinan justru asimetris, desain modalnya (Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib) terlihat bercorak non-distributif.
Namun ketentuan dividennya bersifat distributif, itu pun tanpa memperhatikan nature of business sektor usaha yang berbeda-beda.
*Firdaus Putra, HC, Peneliti dan Ketua Komite Eksekutif ICCI
Novita Puspasari, Peneliti dan Kandidat Doktor Monash University, Australia