Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Daffa Batubara
Peneliti

Peneliti CELIOS (Center of Economic and Law Studies)

Angan-angan Swasembada Daging Sapi

Kompas.com - 21/04/2024, 07:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SWASEMBADA pangan sering kali menjadi pemanis politisi dalam bergulat memperebutkan kursi.

Sebetulnya kata tersebut mempunyai makna mendalam dan menggembirakan untuk para produsen pangan, khususnya bagi produsen kecil yang memiliki modal pas-pasan.

Apabila swasembada terealisasi, artinya produk yang dihasilkannya kemungkinan besar terserap. Namun seperti yang sudah-sudah, swasembada pangan baru sekadar angan-angan, termasuk soal daging sapi.

Hal tersebut terbukti dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang angka impor daging sejenis lembu yang terus naik sejak tahun 2021. Tahun 2023 jumlah kenaikkannya hampir 13.000 ton.

Impor memang perlu dilakukan jika kebutuhan dalam negeri tidak terpenuhi. Impor dilakukan untuk menekan laju inflasi.

Berdasarkan estimasi Kementerian Pertanian (Kementan), tahun 2023 ketersediaan daging sapi dan kerbau hanya 442,69 ton dari kebutuhan 816,79 ton.

Hasil dari estimasi Kementan menunjukkan bahwa kinerja pemenuhan daging sapi dapat dikatakan buruk.

Bayangkan, Indonesia hanya dapat memenuhi sekitar 54,19 persen dari kebutuhan. Padahal potensi untuk memenuhi kebutuhan atau swasembada daging sapi sangat terbuka lebar.

Bicara soal swasembada daging sapi, idealnya seluruh rangkaian proses ekonomi berada di dalam negeri. Hal yang sangat diperlukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan sendiri adalah jumlah ketersediaan sapi potong yang sebanding dengan permintaan.

Data BPS, populasi sapi potong tahun 2022 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2021, populasi sapi potong sebanyak 17,9 juta ekor, pada 2022 hanya 17,6 juta ekor.

Ada dua hal yang sepertinya mengikis populasi sapi potong tersebut. Pertama kematian dari penyebaran penyakit mulut dan kuku (PMK) di pertengahan tahun 2022.

Catatan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada September 2022 menyebut 11.000 ekor ternak dipotong bersyarat. Meski tidak sampai pada kematian, dari peternak kecil yang penulis temui masih tetap mengalami kerugian.

Harga yang diberikan oleh rumah potong hewan (RPH) untuk sapi yang terjangkit PMK mayoritas di bawah harga pasar pada umumnya. Bahkan penulis menemui peternak rumah tangga yang sapinya hanya dihargai setengah dari harga pasar.

Masih dalam catatan UGM September 2022, hampir 8.000 ekor ternak mati dan 11.000 belum sembuh dari wabah.

Melansir detikJabar, Menko Airlangga Hartarto berucap pemerintah akan mengganti rugi sebesar Rp 10 juta untuk setiap ekor sapi yang dimusnahkan paksa.

Besaran itu tidak cukup untuk para peternak rumah tangga yang berhasil mencetak sapi dengan bobot jumbo dalam kurun waktu ternak lebih dari satu tahun.

Di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, harga anak sapi yang dari segi postur memiliki potensi jumbo menyentuh belasan juta rupiah. Belum lagi kebutuhan untuk pakan.

Kejadian yang lebih pedih lagi, sampai hari ini banyak peternak yang tidak mendapat ganti rugi setelah hewan ternaknya mati karena PMK. Pastinya ini menyangkut pengawasan wabah dan pendataan hewan ternak yang masih berantakan.

Sampai 2024, PMK tak kunjung pergi. Informasi dari detikJatim, bulan Februari lalu, PMK kembali menyerang Kabupaten Pasuruan setelah mereda beberapa waktu. Selama 7 hari, ditemukan 145 kasus PMK dan 31 ekor sapi tak terselamatkan.

Pemerintah telah abai mengurus PMK. Sampai Menteri Pertanian sebelumnya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah terkait penyebab PMK yang kembali masuk setelah 36 tahun Indonesia dinyatakan bebas dari wabah tersebut.

Lantas bagaimana kita bisa mengantisipasi kejadian serupa di masa depan?

Hampir setiap ahli manajemen mengutarakan perencanaan menempati urutan pertama dalam proses manajemen. Namun perencanaan tidak berdiri sendiri. Sebelumnya perlu mendapatkan beragam informasi yang akan menentukan langkah perencanaan kita.

Kalau dalam manajemen produksi, kita mungkin mengenal istilah input, process, dan output (IPO). Informasi penyebab masuknya PMK berada dalam pusaran input, process merupakan kegiatan mengelaborasi, dan output dari itu ialah kebijakan serta penyelenggaraannya.

Tanpa mengetahui penyebab masuknya PMK, mustahil kita semua akan bebas dari wabah ganas itu. Atau jangan-jangan Pemerintah telah mengetahui, namun karena kesalahannya sendiri ia malu untuk memberitahu publik.

Faktor kedua yang dirasa membuat populasi sapi potong berkurang, yakni mengikisnya minat beternak di masyarakat, terutama dalam sektor pengembangbiakan.

Alasan sejumlah masyarakat desa yang penulis temui cukup masuk akal. Salah satunya, biaya perawatan yang mahal jika ingin menghasilkan anak sapi (pedet) berkualitas.

Alasan berikutnya adalah risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggemukan. Bagi mereka, masyarakat desa yang penulis temui, daya tahan tubuh pedet masih belum se-prima usia di atasnya. Alhasil tidak jarang pedet menemui ajal sebelum usianya berkembang.

Trauma akibat PMK dan tingginya biaya beternak menjadi dua hal yang mengganjal swasembada daging sapi.

Kacaunya data dan profesionalitas Pemerintah dalam mengelola dunia peternakan menambah beban untuk kita menggapai angan-angan swasembada.

Apabila Pemerintah masih memiliki keinginan untuk merealisasi swasembada daging sapi, sudah selayaknya melakukan banyak hal.

Pada tahap awal, Pemerintah harus menyempurnakan data menjadi data yang akurat dan terintegrasi. Pemerintah daerah bisa dilibatkan dalam urusan sistem pendataan, kalau perlu sampai dengan tingkat rukun warga (RW).

Era digitalisasi setidaknya memberikan kemudahan kepada kita untuk menghimpun data peternakan. Tandanya ekosistem digital wajib diperkuat sampai pada tingkat daerah kecil atau terpencil.

Kemudian beranjak pada kegiatan mengaktivasi kembali pengembangbiakan. Pengawasan di setiap RPH akan sapi betina yang dipotong penting untuk digencarkan. Pasalnya, harga sapi betina tergolong di bawah sapi jantan.

Kalau pengawasan renggang, otomatis RPH yang orientasinya keuntungan memilih sapi betina. Karena harga modal yang lebih murah menghasilkan keuntungan lebih besar.

Pembagian semen beku gratis beserta penyuntikannya juga dapat dilakukan. Hal itu dapat dieksekusi sebelum Pemerintah memberikan asuransi secara cuma-cuma untuk pedet sampai daya tahan tubuhnya dirasa sudah cukup stabil.

Utamanya asuransi diberikan sebagai langkah Pemerintah menjaga kerugian peternak ketika hal yang tak diinginkan terjadi.

Di samping itu, langkah ini juga sebagai upaya Pemerintah membangkitkan semangat beternak dan kepercayaan diri. Akan tetapi, penerima manfaat ini tentu harus memenuhi syarat yang dapat dibicarakan nanti.

Terakhir Pemerintah perlu fokus pada pengondisian harga pakan. Walau terakhir, langkah ini yang paling kompleks.

Karena pakan sapi kebanyakan berasal dari limbah pertanian, Pemerintah tentu harus membenahi sektor pertanian juga. Terlebih kejadian yang akan dihadapkan beda wilayah, beda pula produk pertanian yang dihasilkan.

Meski begitu, hal tersebut yang dinamakan “setali tiga uang”. Persoalan pertanian yang terselesaikan akan menghidupkan dunia peternakan.

Perekonomian di pedesaan akan kembali ramai dan Pemerintah tak perlu membagikan bantuan sosial ketika kampanye tiba.

Masyarakat pedesaan di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang penulis temui menjadikan beternak sapi sebagai tabungan, atau sekadar meneruskan budaya yang sudah turun-temurun.

Jangan sampai budaya yang juga sekaligus pendorong ekonomi berputar itu memudar perlahan. Oleh karenanya, berbenah adalah keharusan!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com