Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Pelajaran Kegagalan Peningkatan Produksi Gula dari Kabupaten Dompu

Kompas.com - 22/04/2024, 13:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BERDASARKAN data Direktorat Jenderal Bea Cukai yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2023 Indonesia mengimpor gula sebanyak 5,06 juta ton, merosot 15,67 persen dibanding tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Volume impor gula Indonesia pada 2023 menjadi yang terendah sejak pandemi Covid-19.

Kendati volumenya berkurang, nilai impor gula Indonesia pada 2023 lebih tinggi dibanding masa pandemi.

Pada 2023 nilai impor gula Indonesia mencapai 2,88 miliar dollar AS, turun 3,68 persen (yoy) dibanding 2022, tapi masih di atas level nilai impor 2021-2022.

Hal tersebut dipengaruhi harga gula global yang sempat melonjak pada 2023 akibat fenomena cuaca El Nino.

Adapun jika dilihat tren dan nilainya, impor gula Indonesia cenderung meningkat dalam tujuh tahun terakhir, walaupun dari sisi volume terjadi penurunan impor pada tahun lalu.

Baik dari segi volume maupun nilainya, angka impor gula pada 2023 memang lebih tinggi dibanding masa pra-pandemi 2017-2019, namun tren tersebut terjadi secara natural dan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia.

Selain itu, ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap konsumsi gula memang cukup besar dan terus membesar karena kecil/lemahnya kecenderungan untuk mensubstitusikannya dengan gula buatan atau pemanis lain.

Karena itu, permintaan gula secara nasional cenderung terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan pertumbuhan industri pengolahan makanan dan minuman.

Sayangnya, kapasitas produksi nasional cenderung tidak membaik, sehingga impor menjadi solusi yang masuk akal.

Dari sisi negara asal, pada 2023 Thailand menjadi pemasok gula terbesar ke Indonesia, dengan volume 2,37 juta ton atau 46,84 persen dari total impor nasional. Nilai impor gula dari negara tersebut sebesar 1,28 miliar dollar AS.

Indonesia juga banyak mengimpor gula dari Brasil dengan volume 1,46 juta ton (886,95 juta dollar AS), Australia 892,8 ribu ton (512,49 juta dollar AS), dan India 311,35 ribu ton (177,76 juta dollar AS).

Dari sisi produksi domestik, menurut data dari Kementerian Pertanian tahun 2021, dari tahun 2017-2021, terdapat 10 (sepuluh) provinsi sentra tebu sebagai bahan baku gula, yaitu provinsi Jawa Timur, Lampung, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Jawa Barat, Sumatera Utara, Yogyakarta dan NTB.

Produksi tebu yang terbesar adalah provinsi Jawa Timur dan Lampung dengan memberikan kontribusi sebesar 46,15 persen dan 33,18 persen terhadap total produksi tebu di Indonesia.

Posisi komoditas gula Indonesia cukup unik, karena secara akumulatif produksi gula Indonesia terbilang defisit dan melakukan impor untuk memenuhi pasokan domestik.

Namun di sisi lain Indonesia juga tetap melakukan ekspor gula ke negara lain. Pada tahun 2021, negara tujuan ekspor Gula Indonesia dominan ditujukan ke negara Vietnam dan Amerika Serikat dengan nilai masing-masing sebesar 197.04 juta dollar AS dan 5.23 juta dollar AS.

Dengan posisi unik tersebut, Neraca Perdagangan gula selama lebih dari lima tahun terakhir menunjukkan defisit dengan volume pertumbuhan tahun 2020-2021 sebesar 6,79 persen, pertumbuhan defisit yang terbilang cukup mengkhawatirkan.

Nilai ekspor gula pada tahun 2021 sebesar 206,42 juta dollar AS, sedangkan nilai Impornya sebesar 2,38 milyar dollar AS.

Bahkan, menurut data dari Statista Global, Indonesia adalah negara importir gula terbesar di dunia berdasarkan jumlah volumenya pada tahun 2020/2021.

Badan Pusat Statistik mencatat impor gula Indonesia tahun 2020 adalah sekitar 5,54 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berupa gula mentah (raw sugar) yang harus diolah kembali untuk dapat dikonsumsi dan sebagian kecil lainnya berupa gula kristal putih untuk konsumsi langsung.

Ketergantungan Indonesia kepada impor gula yang cukup tinggi tersebut bisa dilihat dari angka IDR Indonesia.

Import Dependency Ratio (IDR) adalah formula yang digunakan untuk menganalisis ketergantungan impor suatu komoditas dalam pemenuhan ketersediaan domestik.

Hasil analisis IDR dari tahun 2017–2021 menunjukkan bahwa Indonesia bergantung pada impor gula tebu sangat besar, di mana hasilnya sebesar 64,79 persen hingga 72,72 persen.

Sementara Self Sufficiency Ratio (SSR) digunakan untuk menganalisis kemampuan suatu komoditas dalam memenuhi kebutuhan domestik.

Nilai SSR gula Indonesia periode tahun 2017-2021 berkisar antara 27,94 persen hingga 35,27 persen, yang menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan gula dari produksi dalam negeri sehingga harus melakukan impor.

Pelajaran dan harapan dari Dompu

Memang pemerintah terus mencoba mengurangi disparitas antara kapasitas produksi nasional dan kebutuhan gula nasional, namun persoalannya tentu tak semudah membalik telapak tangan.

Pemerintah berusaha melakukan ekstensifikasi produksi tebu nasional, tapi hasilnya justru kurang bisa diandalkan.

Pasalnya, perluasan lahan tebu ternyata berjalan beriringan dengan penurunan produktifitas lahan tebu yang ada.

Walhasil, produksi dalam negeri justru tetap belum mampu mengimbangi tingkat kebutuhan dalam negeri yang cenderung terus naik.

Pengalaman saya belum lama ini ketika bersentuhan dengan daerah penghasil tebu dan industri gula di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), tepatnya di Kabupaten Dompu, persoalan yang ada di lapangan jauh lebih kompleks dari yang dibayangkan.

Kegagalan pemerintah dan dunia usaha untuk mendorong produksi dalam negeri di satu sisi dan pengurangan kuota impor secara drastis di sisi lain justru membuat perusahaan industri gula mengalami kerugian yang sangat signifikan.

Gagal panen tebu di lahan HGU milik perusahaan dan lambatnya proses ekstensifikasi lahan via mekanisme kemitraan tidak bisa serta merta mengisi kekurangan pasokan akibat pengurangan kuota impor gula mentah oleh perusahaan.

Sehingga, di tahun 2023 lalu, satu-satunya industri gula di NTB tersebut mengalami kemunduran bisnis yang cukup masif.

Lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang dikelola perusahaan mengalami gagal panen karena beberapa faktor yang semestinya tidak terjadi, baik karena kegagalan komunikasi yang baik dan intens antara pihak perusahaan, pemerintah pusat dan daerah, aparat, dan masyarakat setempat, sampai kepada faktor cuaca dan tidak efektifnya implementasi penegakan hukum yang tegas di kawasan HGU oleh pihak-pihak otoritatif.

Law enforcement failure akibat kedekatan geografis antara kawasan perkebunan tebu milik perusahaan dengan kawasan pelepasan peternakan milik masyarakat menjadi salah satu faktor yang menarik dalam kegagalan perusahaan dalam mendorong peningkatan pasokan tebu lokal.

Hal itu bisa terjadi karena absennya keterlibatan para pihak, baik dari pihak otoritas maupun pihak korporat, dalam menegaskan batas tegas antara kedua jenis kawasan, sehingga terjadi irisan penggunaan lahan yang mengakibatkan kegagalan panen di kawasan Perkebunan milik perusahaan.

Di dalam kondisi pasokan gula nasional yang mengkhawatirkan seperti hari ini, tentu apa yang terjadi di Dompu sangat disayangkan.

Ternyata kehadiran industri gula belum bisa menjadi jaminan atas peningkatan kapasitas produksi gula, karena kegagalan para pihak dalam menjahit berbagai kepentingan yang ada di lapangan.

Bahkan institusi pemerintah yang semestinya saling berkoordinasi di dalam mendorong peningkatan kapasitas produksi gula di Dompu nyatanya tidak saling berbagi tugas dalam melanggengkan operasi industri di satu sisi dan menjahit keterikatan sosial ekonomi antara pihak industri dengan pihak masyarakat di sisi lain.

Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah sejatinya harus saling berbagi tugas di dalam kelancaran pengelolaan HGU yang telah diberikan kepada pihak perusahaan sesuai dengan porsinya masing-masing, agar kapasitas produksi gula nasional bisa secara perlahan ditingkatkan.

Namun di lapangan biasanya, apa yang telah dilegalisasi oleh pemerintah pusat justru dihindari oleh pemerintah di daerah, karena minimnya koordinasi dan komunikasi di satu sisi dan tidak terakomodasinya kepentingan daerah di sisi lain.

Dari sisi perusahaan pun tak berbeda. Segala urusan yang dianggap telah dibicarakan dengan lembaga pemerintah yang terkait di pusat justru juga dianggap telah selesai di tingkat lapangan.

Walhasil, ketika terjadi kendala di lapangan, pihak perusahaan mau tak mau harus menyelesaikannya secara sendiri-sendiri.

Kegagalan tata niaga dan tata kelola dari para pihak inilah yang sebenarnya menjadi penyebab utama mengapa industri gula juga gagal dalam menggandeng masyarakat untuk mendukung misi perusahaan dalam meningkatkan pasokan lokal.

Risikonya bagi perusahan tidak saja di dalam pengelolaan lahan HGU yang dimiliki perusahaan, tapi juga lambatnya mekanisme kemitraan antara industri gula dengan Masyarakat pemilik lahan yang akan mengonversi tanaman lain ke tanaman tebu.

Pemerintah di semua tingkatan bersama dengan perusahaan gagal berkoordinasi dan berkomunikasi secara baik dan intens untuk meningkatkan daya tarik tanaman tebu bagi petani, sehingga lahan tebu dengan mekanisme kemitraan pun tidak berkembang secara baik.

Untuk daerah seperti Kabupaten Dompu, tepatnya di Kecamatan Pekat, daya tarik tanaman tebu masih kalah oleh daya tarik komoditas seperti Jagung, di mana tingkat produksinya terbilang sangat tinggi di Dompu.

Padahal keberlimpahan produksi jagung memiliki risiko komersial tersendiri bagi petani jagung, karena serta-merta harga turun drastis di saat masa panen.

Sehingga sebenarnya, jalan terbaik bagi Kabupaten Dompu untuk megurangi risiko tersebut adalah dengan melakukan diversifikasi komoditas andalan alias tidak hanya bergantung kepada jagung.

Nah, karena industri gula telah hadir di Dompu di tengah dua sektor andalan lain yang telah lebih dulu eksis, yakni jagung dan peternakan sapi lepas, jalan terbaik adalah ikut mengembangkan komoditas tebu, baik dengan bekerjasama secara intens dengan perusahaan dalam mengoptimalkan penggunaan lahan HGU ataupun kemitraan dengan mendorong secara bersama-sama terjadinya diversifikasi komoditas andalan daerah, yakni jagung, tebu/gula, dan peternakan (salah satu sektor andalan lain Dompu yang harus dilestarikan dan dikembangkan).

Pelajaran berharga dari Dompu ini sangat perlu menjadi perhatian semua pihak, karena akan dihadapi oleh para pihak di saat ingin menjadikan Indonesia berswasembada gula secara berkelanjutan ke depannya.

Untuk Dompu, misalnya, pengembangan tiga komoditas andalan daerah sebagaimana saya sebutkan di atas akan menjadi solusi kolaboratif dan “win-win” antara kepentingan nasional terkait dengan swasembada gula dan kepentingan komersial industri gula, kepentingan perekonomian daerah dalam rangka menyeimbangkan beberapa komoditas andalan agar tidak terjadi kerugian massal di saat panen raya terjadi karena hanya bergantung kepada satu komoditas, dan kepentingan masyarakat di kawasan industri gula dengan hadirnya peluang ekonomi baru yang sangat berpotensi menjadi sumber kesejahteraan.

Namun absennya aktor dan kelembagaan yang akan menjahit sinergitas ketiga kepentingan tersebut membuat industri gula di Dompu kurang berhasil mengoptimalisasi pasokan lokal, lalu semakin mempersulit pemerintah pusat dalam mencapai target swasembaga gula.

Sementara di sisi lain, kegagalan tersebut juga merugikan daerah, karena investasi mahal yang telah digelontorkan investor pemilik industri gula justru tidak terlalu berhasil memberikan kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi daerah karena kinerjanya tidak optimal.

Walhasil, masyarakat sekitar pun tidak maksimal dalam menikmati kemanfaatan investasi yang ada. Padahal potensinya sudah berada dalam posisi selangkah lagi menuju realisasi yang optimal dan saling menguntungkan.

Pasalnya, investasinya telah datang dan terjadi, tapi justru gagal ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait untuk mendapatkan manfaat seoptimal mungkin, baik bagi perekonomian nasional dan daerah maupun bagi masyarakat. Bukankah hal itu sangat disayangkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com