PROSES aksesi Indonesia ke Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD Council) terus berjalan.
Pada 2 Mei 2024, dalam pertemuan OECD Ministerial Council Meeting, Peta Jalan Aksesi OECD untuk Indonesia (OECD Accession Roadmap for Indonesia) secara resmi diserahkan oleh Sekretaris Jenderal OECD, Mathias Cormann.
Penyerahan Peta Jalan kepada Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, menandakan dimulainya secara resmi proses aksesi Indonesia ke OECD.
Seperti yang disebutkan dalam artikel pertama penulis, tidak ada batas waktu yang ditentukan untuk proses negosiasi. Namun secara umum, proses ini membutuhkan waktu antara 2 tahun hingga 5 tahun.
Negara-negara seperti Republik Ceko, Hungaria, dan Korea Selatan berhasil menyelesaikan proses aksesi dalam waktu kurang dari 2 tahun. Namun, negara-negara seperti Slowakia, Kolombia, dan Kosta Rika membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun untuk menjadi anggota OECD.
Seperti analisis penulis dalam artikel pertama, struktur Peta Jalan Aksesi untuk Indonesia tidak berbeda jauh dengan Peta Jalan Aksesi untuk negara lain.
Ada tujuh area kebijakan yang akan dipertimbangkan: (1) reformasi struktural, (2) keterbukaan perdagangan dan investasi, (3) pertumbuhan inklusif, (4) tata kelola pemerintahan, (5) lingkungan, keanekaragaman hayati dan iklim, (6) digital, dan (7) infrastruktur.
Sebanyak 26 komite teknis akan menilai kesiapan Indonesia dalam proses aksesi. Setiap komite memiliki tugas untuk mengevaluasi dua aspek penting berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Aspek pertama adalah keinginan dan kapabilitas Indonesia untuk mengimplementasikan instrumen hukum (legal instruments) OECD.
Aspek kedua adalah penilaian terhadap kebijakan dan praktik yang ada di setiap negara, dibandingkan dengan praktek standar OECD.
Komite-komite ini meliputi berbagai sektor seperti investasi, tata kelola, keuangan, fiskal, lingkungan, regulasi, statistik, pendidikan, kesehatan, ekonomi digital, kompetisi, pertanian, dan sebagainya.
Dalam rangka mengikuti Peta Jalan Aksesi, Indonesia diwajibkan untuk mengajukan Memorandum Awal kepada OECD.
Dokumen ini harus mencakup penilaian mandiri yang dilakukan oleh Indonesia, membandingkan kondisi lokal dengan standar OECD, termasuk dalam hal peraturan, kebijakan, dan implementasi.
Sumber rujukan utama adalah instrumen hukum OECD. Ini mencakup 270 instrumen hukum yang masih berlaku (legal instruments in force), 23 keputusan (decisions), 180 rekomendasi (recommendations), dan 40 dokumen hasil yang substansif (substantive outcome documents).
Secara prinsip, Indonesia wajib mematuhi semua instrumen hukum OECD. Jika terdapat aspek yang belum sesuai dengan instrumen hukum OECD, maka Indonesia harus mengambil langkah tindak lanjut untuk melakukan penyesuaian.