Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Pajak Inflasi dalam Kolapsnya Mata Uang Zimbabwe

Kompas.com - 13/05/2024, 08:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Namun, adanya konsep ini tidak lantas berarti pencetakan uang baru sebaiknya tidak dilakukan. Ada berbagai tujuan mengapa bank sentral mencetak uang dan mengedarkannya dalam perekonomian.

Dalam praktik moneter yang lazim dilakukan di banyak negara, pencetakan uang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan uang fisik di masyarakat dan sebagai bagian dari kebijakan moneter yang mengatur laju pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Ini menjadi salah satu alasan positif mengapa bank sentral melakukan pencetakan uang.

Yang menjadi tidak dapat dibenarkan adalah ketika pencetakan uang justru dilakukan untuk menjadi penopang utama belanja pemerintah. Padahal, fungsi tersebut harusnya dijalankan oleh penerimaan pajak, pendapatan bukan pajak dari pemanfaatan sumber daya alam, atau bentuk pembiayaan anggaran lainnya.

Inilah yang terjadi dalam kasus Zimbabwe, Venezuela, dan Argentina, yang kini mengalami hiperinflasi karena pencetakan uang baru justru dilakukan secara tidak terkendali oleh pemerintah untuk mendanai anggaran.

Ketika bank sentral mencetak uang baru dan mengedarkannya, pemerintah sebenarnya memperoleh keuntungan dari selisih antara nilai nominal uang yang dicetak dengan biaya untuk mencetaknya. Dalam disiplin ekonomi, keuntungan ini dikenal sebagai seigniorage.

Sebagai contoh, di Amerika Serikat, pencetakan selembar uang satu dollar hanya membutuhkan biaya sekitar 5 sen. Artinya, ada keuntungan pemerintah sebesar 95 persen dari setiap lembar dolar yang dicetak.

Sementara itu, Bank Indonesia sepanjang 2022 juga mencetak uang senilai Rp 1.431 triliun dengan biaya cetak dan distribusi sebesar Rp 4 triliun. Terdapat selisih yang besar antara nominal uang dan biaya mencetaknya.

Meski demikian, aktivitas pencetakan uang oleh bank sentral Amerika Serikat, The Fed, dan Bank Indonesia dapat dibenarkan karena memang bukan ditujukan untuk menjadi penopang utama anggaran pemerintah.

Di Amerika Serikat, keuntungan cetak uang hanya sebesar 430 juta dollar atau tidak lebih dari 0,01 persen total pendapatan negara sepanjang 2023 sebesar 4,4 triliun dollar AS.

Sama halnya dengan pencetakan uang oleh Bank Indonesia yang diimbangi dengan penarikan uang tidak layak edar dan siklus kebijakan moneter, sehingga jumlah uang kertas dan logam yang beredar sepanjang 2022 hanya meningkat Rp 66 triliun.

Namun, di Zimbabwe pada awal tahun 2000-an, pencetakan uang secara berlebihan dilakukan pemerintah untuk mendanai masifnya belanja militer akibat terlibat dalam Perang Besar Afrika.

Parahnya lagi, uang yang dicetak juga digunakan untuk kebutuhan pribadi pejabat pemerintah, membuat Zimbabwe menjadi negara ke-32 terkorup di dunia menurut Transparency International pada 2023.

Hal yang sama juga terjadi di Venezuela. Ketika harga minyak dunia jatuh sejak 2013, industri migas yang menjadi sumber utama pendapatan pemerintah ikut kolaps.

Untuk mengisi kekosongan anggaran, pemerintah Venezuela yang dipimpin oleh diktator baru, Nicolas Maduro, justru memilih jalan pintas dengan mencetak uang dibanding mencari penerimaan pajak dan pembiayaan utang.

Kemudian, di Argentina, kebiasaan pemerintah yang terus mencetak uang untuk mendanai belanja yang berlebihan juga memicu kolapsnya nilai mata uang peso.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com