Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Udin Suchaini
ASN di Badan Pusat Statistik

Praktisi Statistik Bidang Pembangunan Desa

Tingginya UKT, Pertumbuhan Ekonomi Tergadai

Kompas.com - 21/05/2024, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sayangnya, struktur penduduk Indonesia dengan pendidikan tinggi di atas SMA masih rendah, kurang dari 10 persen.

Hasil kegiatan Sensus Penduduk Long Form 2020 menunjukkan, penduduk dengan pendidikan Diploma 1 hingga pascasarjana hanya sebesar 7,57 persen.

Sementara penduduk dengan ijazah SMA sederajat hanya 26,22 persen. Sisanya memiliki pendidikan SMP ke bawah, bahkan masih ada yang tidak sekolah.

Sederhananya, UKT yang tinggi berdampak pada dua sisi, menghambat peningkatan kesejahteraan, sekaligus menjaga ketersediaan buruh pendidikan rendah di negeri sendiri.

Implikasinya, jika UKT semakin tak terjangkau masyarakat menengah ke bawah, lapangan usaha dengan kriteria rendah diuntungkan dengan melimpahnya tenaga kerja. Padahal, saat ini banyak terjadi PHK pada perusahaan-perusahaan padat karya.

Sementara, jika UKT dibuat terjangkau, maka pemerintah perlu meningkatkan ekosistem pekerjaan yang bersifat formal dan soft skill. Apalagi, target pemerintah menjadi negara maju dan dalam aksesi menuju keanggotaan OECD.

Pendidikan Pertanian

Banyaknya penduduk dengan pendidikan tinggi memiliki dampak positif yang signifikan terhadap pertumbuhan PDB, setidaknya di 38 negara OECD.

Kajian yang dilakukan Li dkk (2024), peningkatan proporsi pendidikan tinggi berkontribusi positif dan signifikan pada pertumbuhan PDB.

Seiring dengan hilirisasi, peran pendidikan tinggi perlu disesuaikan melalui pengembangan bakat yang sesuai dengan situasi pembangunan aktual negara.

Namun, dalam rangka ketahanan pangan, juga perlu ditopang oleh kampus-kampus pencetak sarjana pertanian.

Kampus-kampus jurusan pertanian perlu penyesuaian, pasar kerja apa yang layak untuk difasilitasi. Karena seringkali muncul stigma negatif ”untuk apa kuliah tinggi kalau hanya menjadi petani?”

Selama ini, sarjana pertanian banyak bekerja di luar sektor pertanian. Hal ini hanya mempertegas bahwa pendidikan kita tidak sesuai kebutuhan pasar.

Sementara, lapangan usaha pertanian juga perlu dibenahi, dari arah konvensional menjadi industri pertanian modern. Supaya ada kebanggaan bahwa lulusan sarjana pertanian menjadi pahlawan garda terdepan ketahanan pangan.

Karena selama ini pendidikan pertanian kita tidak seirama dengan narasi yang disampaikan Nelson Mandela, "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world."

Jika ekosistem pendidikan tidak berbenah sesuai kebutuhan pertumbuhan ekonomi, mudah saja tergilas negara lain di tengah kapabilitas penduduk yang terbatas.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com