Mekanisme ini dilakukan dengan cara pemerintah membeli kembali surat utang negara (SUN), yang penyelesaiannya dilakukan dengan penyerahan SUN seri lain. Dengan kata lain, pemerintah membayarkan utang yang jatuh tempo dengan memberikan utang seri baru.
"Dan apabila terdapat selisih nilai penyelesaian transaksinya, dapat dibayar tunai," katanya.
Baca juga: Gambaran APBN Pertama Prabowo: Beban Utang Naik, Defisit Anggaran Melebar
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, tingginya nilai utang yang bakal jatuh tempo dalam waktu dekat bermula dari keputusan pemerintah menarik utang secara signifkan pada 2020, ketika pandemi Covid-19 merebak.
Pada saat itu pemerintah membutuhkan pembiayaan sekitar Rp 1.000 triliun untuk merespons pendapatan negara yang turun signifikan.
Oleh karenanya, pada 2020 pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sepakat untuk melakukan penerbitan utang dengan skema burden sharing. Lewat skema itu, pemerintah menerbitkan surat utang negara (SUN) dengan tenor maksimal 7 tahun.
"Jadi kalau tahun 2020 (diterbitkan), maksimal jatuh tempo pandemi di 7 tahun, dan ini memang konsentrasi terakhir di (tahun) 5, 6, 7 , sebagian 8," ujar Sri Mulyani, dalam Rapat Bersama Komisi XI DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (6/6/2024).
Baca juga: Utang Pemerintah Naik, Kini Tembus Rp 8.338 Triliun
"Inilah yang kemudian menimbulkan persepsi banyak sekali utang numpuk, karena itu adalah biaya pandemi yang mayoritas kita issues surat utangnya berdasarkan agreement," sambungnya.
Meskipun nilai utang yang bakal jatuh tempo "menumpuk", Sri Mulyani mengaku tidak ambil pusing.
Sebab, kondisi perekonomian dan APBN masih terjaga, sehingga menjaga persepsi positif investor terhadap SUN.
Dengan persepsi yang masih positif, investor diyakini tidak akan langsung menarik dananya dari SUN RI. Alih-alih mengambil keuntungannya, investor diyakini kembali melakukan investasi di instrumen SUN.