Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Mengurai Keringanan Pajak Kendaraan

Kompas.com - 10/06/2024, 10:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DARI berbagai jenis pajak, pajak kendaraan menjadi salah satu yang paling tidak asing bagi masyarakat.

Pasalnya, dengan jumlah kendaraan bermotor tembus 160 juta unit di 2024, tercatat 8 dari 10 rumah tangga setidaknya memiliki kendaraan sendiri.

Namun, jika dibandingkan dengan pajak atas penghasilan dan konsumsi yang juga umum di masyarakat, pajak kendaraan sebenarnya memiliki perbedaan signifikan dalam pengelolaannya.

Sistem perimbangan keuangan antarpemerintah dalam negeri sejatinya menjalankan prinsip desentralisasi fiskal. Artinya, pemerintah daerah dilimpahkan kewenangan untuk turut memungut pajaknya sendiri.

Inilah mengapa sistem perpajakan nasional sebenarnya terbagi antara pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah.

Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak pusat yang pengelolaannya dijalankan oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. Hasil penerimaannya kemudian akan masuk ke anggaran negara (APBN).

Sementara itu, Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang dibayar tahunan dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), merupakan jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah tingkat provinsi.

Realisasinya menjadi bagian dari Pendapatan Asli Daerah dalam anggaran pemerintah setempat.

Pembagian kewenangan ini menjadi alasan mengapa kebijakan relaksasi penghapusan bea balik nama kendaraan bekas (BBNKB II) dan tarif progresif PKB yang mulai banyak berlaku tahun ini, belum diterapkan secara merata di seluruh provinsi.

Setidaknya baru 17 dari 38 provinsi yang telah menghapus tarif progresif pajak kendaraan, dan 34 dari 38 provinsi yang telah menghapus BBNKB II (Kompas.com, 18/1/2024).

Pada dasarnya, meski menjadi kewenangan pemerintah setempat, penyusunan peraturan daerah yang mengatur pemungutan pajak dan retribusi daerah tidak bisa sembarangan.

Batasan pemungutannya telah diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD).

Di dalam UU HKPD, pemerintah provinsi sebenarnya diberikan kewenangan untuk memungut pajak kendaraan tahunan dengan tarif berjenjang (progresif) sesuai jumlah kepemilikan kendaraan.

Kebijakan ini sudah berlangsung lama sejak ditetapkannya UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) pada 2009.

Di banyak provinsi, kebijakan ini masih berjalan aktif. Misalnya, Perda DKI Jakarta No. 1/2024 menetapkan setiap tambahan kepemilikan kendaraan dikenai tambahan tarif pajak tahunan sebesar 1 persen.

Untuk kendaraan pertama dikenai 2 persen, kendaraan kedua dikenai 3 persen, dan seterusnya hingga maksimum 6 persen.

Meski demikian, tarif progresif ini umumnya hanya berlaku bagi kendaraan yang terdaftar atas nama orang pribadi. Sementara atas kendaraan atas nama badan usaha, tarif biasanya dikenakan tetap berapa pun jumlah kendaraannya. Di DKI Jakarta, tarifnya dikenakan rata (flat) sebesar 2 persen.

Sebenarnya, ada tujuan positif mengapa tarif dikenakan progresif untuk orang pribadi. Tarif yang berjenjang diharapkan dapat memitigasi angka kemacetan dan emisi polutan akibat kepemilikan kendaraan dalam jumlah berlebihan di masyarakat.

Dalam praktiknya, pencapaian tujuan tersebut menghadapi tantangan karena berisiko disiasati pemilik kendaraan.

Ketentuan UU HKPD menetapkan jumlah kepemilikan kendaraan didasarkan pada nama, nomor induk kependudukan (NIK), atau alamat yang sama.

Akibatnya, untuk menghindari pajak progresif, sebanyak 30 persen kendaraan diperkirakan justru terdaftar atas nama orang lain (Kompas.com, 23/3/2023).

Ini menjadi salah satu alasan mengapa PKB progresif dan BBNKB II kemudian diusulkan untuk dihapus (Kompas.com, 25/8/2022). Di banyak daerah, usulan penghapusan tarif progresif PKB mulai dijalankan tahun ini.

Sementara itu, UU HKPD mewajibkan seluruh provinsi untuk membebaskan bea balik nama kendaraan bekas paling lambat 2025.

Keputusan ini mengubah kebijakan yang sebelumnya diatur UU PDRD, di mana BBNKB II dapat dipungut paling tinggi 1 persen dari Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) yang tercantum pada Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

Misalnya, untuk pembelian mobil bekas dengan NJKB senilai Rp 200 juta, mulanya terdapat biaya BBNKB paling tinggi Rp 2 juta dalam mengurus BPKB dan STNK pemilik baru. Kini, biaya tersebut tidak lagi dibebankan ketika balik nama kendaraan bekas.

Kebijakan relaksasi pajak kendaraan ini tentu menjadi angin segar bagi banyak pihak.

Bagi masyarakat, penghapusan BBNKB II membuat biaya pengurusan surat-surat ketika membeli kendaraan bekas menjadi lebih ringan.

Sementara itu, penghapusan tarif progresif PKB juga meringankan total biaya pajak kendaraan tahunan pada rumah tangga yang memiliki lebih dari satu kendaraan.

Kedua relaksasi ini diharapkan mampu mendorong masyarakat untuk memenuhi kewajiban mendaftarkan kepemilikan kendaraan sesuai dengan pemilik sebenarnya.

Bagi pemerintah setempat, hal ini bisa membawa dampak positif bagi Pendapatan Asli Daerah. Data kepemilikan kendaraan yang lebih akurat memungkinkan pengawasan yang lebih efektif atas pemenuhan kewajiban pajak kendaraan.

Sementara itu, bagi pelaku usaha perdagangan kendaraan bekas, relaksasi pajak ini juga menjadi stimulus tersendiri.

Pembebasan BBNKB II diharapkan bisa membuat kendaraan bekas memiliki daya saing yang tidak kalah menarik dibanding kendaraan baru yang tetap dikenakan BBNKB.

Di sisi lain, orang pribadi yang menjalankan usaha penyewaan kendaraan juga ikut merasakan dampak positif dari penghapusan tarif progresif PKB.

Biaya pajak tahunan yang ditanggung dari kepemilikan banyak kendaraan kini menjadi lebih ringan dan berdampak positif pada laba bersih yang diperoleh.

Hal yang sama juga dapat dirasakan kolektor kendaraan. Pengenaan tarif tetap atas koleksi kendaraan, khususnya model klasik dan antik, menjadi lebih tepat dan ringan karena kendaraan tersebut pada umumnya memang bukan digunakan untuk turun ke jalan.

Keputusan pemerintah daerah merelaksasi pajak kendaraan merupakan pilihan tepat untuk menggeliatkan kepatuhan pajak dan ekonomi daerah.

Oleh karena itu, masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan keringanan ini sebaik-baiknya untuk menyelesaikan kewajiban pajak kendaraan yang mungkin belum terpenuhi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com