Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Pelemahan Rupiah dari Perspektif Tiga Generasi Krisis Mata Uang

Kompas.com - 16/06/2024, 10:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA Jumat (15/6/2024), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus melemah dan mencapai Rp 16.400 per dollar AS, titik terendah sejak masa pandemi pada April 2020.

Meskipun terjadi pelemahan, Bank Indonesia (BI) tetap optimistis terhadap kinerja rupiah yang dinilai relatif kuat dibandingkan negara lain. Dalam perspektif yang lebih luas, apakah optimisme ini beralasan?

Mengukur optimisme BI

Optimisme BI didasarkan pada perbandingan depresiasi rupiah dengan mata uang negara lain. Memang benar bahwa dalam konteks regional dan global, pelemahan rupiah terlihat lebih moderat.

Namun, argumen ini mungkin kurang relevan bagi masyarakat yang merasakan dampak langsung dari depresiasi mata uang.

Triple intervensi yang dilakukan BI, seperti intervensi di pasar DNDF, pasar spot, dan pasar SBN, memang berhasil menjaga stabilitas sementara.

Namun, efektivitas jangka panjang dari strategi ini masih perlu diuji, terutama jika tekanan eksternal terus meningkat.

Pelemahan rupiah kali ini membawa kita untuk melihat kembali sejarah dan mengambil pelajaran dari krisis mata uang dari tiga generasi mata uang.

Tiga generasi krisis mata uang yang terjadi sejak awal 1980-an, memberikan pelajaran berharga bagi pembuat kebijakan tentang pentingnya menjaga kredibilitas dan stabilitas ekonomi.

Meskipun krisis mata uang generasi pertama di Amerika Latin pada awal 1980-an, generasi kedua di Eropa dan Meksiko pada 1990-an, dan generasi di Asia pada akhir 1990-an memiliki karakteristik unik, mereka semua menunjukkan bahwa kebijakan yang tidak kredibel dapat dengan cepat memicu kepanikan dan pelarian modal yang merusak ekonomi.

Pada setiap generasi krisis, perilaku eksuberan (merujuk pada euforia atau antusiasme berlebihan dari pelaku pasar/investor) sebelum krisis menjadi ciri umum.

Arus masuk modal jangka pendek atau ‘hot money’ yang besar mengalir ke negara-negara yang menjanjikan nilai tukar tetap dan stabil.

Namun, ketika kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah untuk mempertahankan nilai tukar tersebut mulai goyah, investor dengan cepat menarik modal mereka, memicu krisis mata uang.

Ini terlihat jelas di Amerika Latin pada awal 1980-an, ketika spekulan meragukan kemampuan pemerintah untuk mempertahankan patokan nilai tukar mereka, dan di Asia pada akhir 1990-an, ketika investor kehilangan kepercayaan pada pasar keuangan yang terlalu berlebihan.

Krisis mata uang generasi pertama

Krisis ini bermula ketika Amerika Serikat di bawah Gubernur Fed Paul Volcker menaikkan suku bunga secara agresif pada akhir 1979, untuk menekan inflasi yang tinggi akibat lonjakan harga minyak dekade tersebut.

Kenaikan suku bunga ini berdampak besar bagi negara-negara Amerika Latin seperti Chili, Brasil, Meksiko, dan Argentina yang saat itu menganut rezim nilai tukar tetap atau crawling peg terhadap dolar AS dalam skema yang disebut Tablita.

Aliran modal jangka pendek atau hot money yang sebelumnya banyak masuk ke negara-negara ini, mendadak berbalik arah mengalir kembali ke Amerika Serikat untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi dari suku bunga yang naik.

Tekanan ini diperparah oleh inflasi di Amerika Latin yang lebih tinggi dibanding depresiasi nilai tukar, sehingga daya saing ekspornya menurun dan neraca pembayaran tertekan.

Krisis pecah saat negara-negara pengekspor komoditas ini mengalami kesulitan membayar bunga utang luar negeri yang melonjak, dari 125 miliar dollar AS menjadi 800 miliar dollar AS pada akhir 1970-an.

Kombinasi suku bunga tinggi dan harga komoditas yang anjlok akibat resesi global, membuat risiko gagal bayar utang luar negeri sangat nyata.

Dampak krisis begitu masif sehingga negara-negara Amerika Latin harus merundingkan restrukturisasi utang dengan kreditur selama 7 tahun berikutnya.

Baru pada 1989, "Brady Plan" yang digagas Menkeu AS Nicholas Brady menyelesaikan krisis ini, dengan penerbitan obligasi Brady senilai 160 miliar Dolar AS.

Inisiatif "Brady Plan" ini pada intinya menawarkan skema restrukturisasi utang dengan penerbitan obligasi baru yang disebut "Brady Bonds".

Kurang lebih 160 miliar dollar AS utang luar negeri negara-negara Amerika Latin dan emerging markets lainnya dikonversi ke dalam obligasi Brady ini.

"Brady Bonds" memiliki jaminan collateral dari pemerintah AS, serta persyaratan yang lebih lunak terkait jadwal pembayaran bunga dan pokoknya.

Skema ini akhirnya membuka jalan keluar dan menyelesaikan krisis utang yang berkepanjangan di Amerika Latin pascakrisis 1981-1982.

Secara umum, pengalaman krisis Amerika Latin 1980-an mengajarkan bahwa pengendalian keseimbangan eksternal, pengelolaan risiko eksternal, kredibilitas fiskal, cadangan devisa memadai, dan sektor keuangan yang kokoh menjadi kunci agar Indonesia dapat mengantisipasi dan mencegah terulangnya krisis utang seperti yang pernah terjadi di kawasan tersebut.

Pelajaran untuk Indonesia

Krisis tersebut memberikan pelajaran berharga bagi pengelolaan nilai tukar rupiah Indonesia. Pertama, bahaya mengandalkan rezim nilai tukar tetap seperti Tablita atau crawling peg yang dianut Chili, Brasil, Meksiko, dan Argentina saat itu.

Rezim ini membuat mereka sangat rentan terhadap guncangan eksternal seperti kenaikan suku bunga di Amerika Serikat yang memperparah beban utang luar negeri.

Indonesia perlu berhati-hati dalam menerapkan rezim nilai tukar agar tidak terlalu kaku dan dapat menyesuaikan dengan kondisi ekonomi global.

Meskipun Indonesia saat ini menganut rezim nilai tukar mengambang terkendali, Indonesia harus tetap waspada terhadap guncangan eksternal seperti kenaikan suku bunga di negara-negara mitra dagang utama yang dapat memperburuk beban utang luar negeri, meskipun nilai tukar rupiah tidak terpaku secara kaku.

Kedua, risiko besar akibat masuknya arus modal jangka pendek atau hot money yang berlebihan sebelum krisis.

Aliran modal ini memicu euforia di negara-negara Amerika Latin, namun justru meningkatkan kerentanan saat terjadi pembalikan arus modal secara tiba-tiba.

Pembalikan ini diperparah oleh imbal hasil yang lebih menarik di AS akibat kenaikan suku bunganya. Indonesia harus mewaspadai arus modal semacam ini agar tidak menimbulkan lubang besar di sistem keuangan saat terjadi pelarian modal.

Ketiga, kombinasi buruk dari utang luar negeri membengkak, kenaikan suku bunga global, dan jatuhnya harga komoditas akibat resesi dunia saat itu menenggelamkan Amerika Latin ke dalam krisis utang luar negeri yang berkepanjangan hingga diselesaikan melalui Brady Plan pada 1989.

Pelajaran ini mengingatkan Indonesia untuk terus menjaga keseimbangan eksternal, kesinambungan fiskal, dan ketahanan ekonomi untuk mencegah krisis utang luar negeri serupa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Harga Bahan Pokok Minggu 23 Juni 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik, Cabai Merah Keriting Turun

Harga Bahan Pokok Minggu 23 Juni 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik, Cabai Merah Keriting Turun

Whats New
Pendaftaran Lowongan Kerja PT KAI Dibuka, Ini Linknya

Pendaftaran Lowongan Kerja PT KAI Dibuka, Ini Linknya

Whats New
Harga Emas Antam Naik Rp 13.000 Per Gram Selama Sepekan

Harga Emas Antam Naik Rp 13.000 Per Gram Selama Sepekan

Whats New
Tanri Abeng, Mantan Menteri BUMN Berjuluk 'Manajer Rp 1 Miliar', Meninggal Dunia di Usia 83 Tahun

Tanri Abeng, Mantan Menteri BUMN Berjuluk "Manajer Rp 1 Miliar", Meninggal Dunia di Usia 83 Tahun

Whats New
[POPULER MONEY] Penerbangan Garuda Terdampak Gangguan Sistem Imigrasi | Kecerdasan AI Akan 10.000 Kali Lebih Pintar dari Manusia

[POPULER MONEY] Penerbangan Garuda Terdampak Gangguan Sistem Imigrasi | Kecerdasan AI Akan 10.000 Kali Lebih Pintar dari Manusia

Whats New
Cara Bayar Iuran BPJS Kesehatan Pakai Virtual Account Bank Muamalat

Cara Bayar Iuran BPJS Kesehatan Pakai Virtual Account Bank Muamalat

Spend Smart
Cara Mudah Transfer BTN ke GoPay via ATM dan Mobile Banking

Cara Mudah Transfer BTN ke GoPay via ATM dan Mobile Banking

Spend Smart
Penasaran Berapa Gaji Lurah PNS di DKI Jakarta?

Penasaran Berapa Gaji Lurah PNS di DKI Jakarta?

Earn Smart
Cara Daftar dan Aktivasi Bima Mobile lewat HP

Cara Daftar dan Aktivasi Bima Mobile lewat HP

Whats New
Menko Airlangga Tepis Isu Defisit APBN Lampaui 3 Persen

Menko Airlangga Tepis Isu Defisit APBN Lampaui 3 Persen

Whats New
Contoh Surat Jual Beli Tanah Bermeterai

Contoh Surat Jual Beli Tanah Bermeterai

Whats New
Catat, 10 Tips agar Cepat Mendapat Pekerjaan Setelah Lulus Kuliah

Catat, 10 Tips agar Cepat Mendapat Pekerjaan Setelah Lulus Kuliah

Work Smart
AHY Sebut Tanah Bersertifikat Punya Nilai Ekonomi Lebih Tinggi

AHY Sebut Tanah Bersertifikat Punya Nilai Ekonomi Lebih Tinggi

Whats New
Bangun Ekosistem Keuangan Syariah, BSI Gelontorkan Pembiayaan Rp 1,8 Triliun ke 3 Sektor

Bangun Ekosistem Keuangan Syariah, BSI Gelontorkan Pembiayaan Rp 1,8 Triliun ke 3 Sektor

Whats New
Cara Mengurus Buku Tabungan BRI Hilang dan Persyaratannya

Cara Mengurus Buku Tabungan BRI Hilang dan Persyaratannya

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com