Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Pelemahan Rupiah dari Perspektif Tiga Generasi Krisis Mata Uang

Kompas.com - 16/06/2024, 10:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA Jumat (15/6/2024), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus melemah dan mencapai Rp 16.400 per dollar AS, titik terendah sejak masa pandemi pada April 2020.

Meskipun terjadi pelemahan, Bank Indonesia (BI) tetap optimistis terhadap kinerja rupiah yang dinilai relatif kuat dibandingkan negara lain. Dalam perspektif yang lebih luas, apakah optimisme ini beralasan?

Mengukur optimisme BI

Optimisme BI didasarkan pada perbandingan depresiasi rupiah dengan mata uang negara lain. Memang benar bahwa dalam konteks regional dan global, pelemahan rupiah terlihat lebih moderat.

Namun, argumen ini mungkin kurang relevan bagi masyarakat yang merasakan dampak langsung dari depresiasi mata uang.

Triple intervensi yang dilakukan BI, seperti intervensi di pasar DNDF, pasar spot, dan pasar SBN, memang berhasil menjaga stabilitas sementara.

Namun, efektivitas jangka panjang dari strategi ini masih perlu diuji, terutama jika tekanan eksternal terus meningkat.

Pelemahan rupiah kali ini membawa kita untuk melihat kembali sejarah dan mengambil pelajaran dari krisis mata uang dari tiga generasi mata uang.

Tiga generasi krisis mata uang yang terjadi sejak awal 1980-an, memberikan pelajaran berharga bagi pembuat kebijakan tentang pentingnya menjaga kredibilitas dan stabilitas ekonomi.

Meskipun krisis mata uang generasi pertama di Amerika Latin pada awal 1980-an, generasi kedua di Eropa dan Meksiko pada 1990-an, dan generasi di Asia pada akhir 1990-an memiliki karakteristik unik, mereka semua menunjukkan bahwa kebijakan yang tidak kredibel dapat dengan cepat memicu kepanikan dan pelarian modal yang merusak ekonomi.

Pada setiap generasi krisis, perilaku eksuberan (merujuk pada euforia atau antusiasme berlebihan dari pelaku pasar/investor) sebelum krisis menjadi ciri umum.

Arus masuk modal jangka pendek atau ‘hot money’ yang besar mengalir ke negara-negara yang menjanjikan nilai tukar tetap dan stabil.

Namun, ketika kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah untuk mempertahankan nilai tukar tersebut mulai goyah, investor dengan cepat menarik modal mereka, memicu krisis mata uang.

Ini terlihat jelas di Amerika Latin pada awal 1980-an, ketika spekulan meragukan kemampuan pemerintah untuk mempertahankan patokan nilai tukar mereka, dan di Asia pada akhir 1990-an, ketika investor kehilangan kepercayaan pada pasar keuangan yang terlalu berlebihan.

Krisis mata uang generasi pertama

Krisis ini bermula ketika Amerika Serikat di bawah Gubernur Fed Paul Volcker menaikkan suku bunga secara agresif pada akhir 1979, untuk menekan inflasi yang tinggi akibat lonjakan harga minyak dekade tersebut.

Kenaikan suku bunga ini berdampak besar bagi negara-negara Amerika Latin seperti Chili, Brasil, Meksiko, dan Argentina yang saat itu menganut rezim nilai tukar tetap atau crawling peg terhadap dolar AS dalam skema yang disebut Tablita.

Aliran modal jangka pendek atau hot money yang sebelumnya banyak masuk ke negara-negara ini, mendadak berbalik arah mengalir kembali ke Amerika Serikat untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi dari suku bunga yang naik.

Tekanan ini diperparah oleh inflasi di Amerika Latin yang lebih tinggi dibanding depresiasi nilai tukar, sehingga daya saing ekspornya menurun dan neraca pembayaran tertekan.

Krisis pecah saat negara-negara pengekspor komoditas ini mengalami kesulitan membayar bunga utang luar negeri yang melonjak, dari 125 miliar dollar AS menjadi 800 miliar dollar AS pada akhir 1970-an.

Kombinasi suku bunga tinggi dan harga komoditas yang anjlok akibat resesi global, membuat risiko gagal bayar utang luar negeri sangat nyata.

Dampak krisis begitu masif sehingga negara-negara Amerika Latin harus merundingkan restrukturisasi utang dengan kreditur selama 7 tahun berikutnya.

Baru pada 1989, "Brady Plan" yang digagas Menkeu AS Nicholas Brady menyelesaikan krisis ini, dengan penerbitan obligasi Brady senilai 160 miliar Dolar AS.

Inisiatif "Brady Plan" ini pada intinya menawarkan skema restrukturisasi utang dengan penerbitan obligasi baru yang disebut "Brady Bonds".

Kurang lebih 160 miliar dollar AS utang luar negeri negara-negara Amerika Latin dan emerging markets lainnya dikonversi ke dalam obligasi Brady ini.

"Brady Bonds" memiliki jaminan collateral dari pemerintah AS, serta persyaratan yang lebih lunak terkait jadwal pembayaran bunga dan pokoknya.

Skema ini akhirnya membuka jalan keluar dan menyelesaikan krisis utang yang berkepanjangan di Amerika Latin pascakrisis 1981-1982.

Secara umum, pengalaman krisis Amerika Latin 1980-an mengajarkan bahwa pengendalian keseimbangan eksternal, pengelolaan risiko eksternal, kredibilitas fiskal, cadangan devisa memadai, dan sektor keuangan yang kokoh menjadi kunci agar Indonesia dapat mengantisipasi dan mencegah terulangnya krisis utang seperti yang pernah terjadi di kawasan tersebut.

Pelajaran untuk Indonesia

Krisis tersebut memberikan pelajaran berharga bagi pengelolaan nilai tukar rupiah Indonesia. Pertama, bahaya mengandalkan rezim nilai tukar tetap seperti Tablita atau crawling peg yang dianut Chili, Brasil, Meksiko, dan Argentina saat itu.

Rezim ini membuat mereka sangat rentan terhadap guncangan eksternal seperti kenaikan suku bunga di Amerika Serikat yang memperparah beban utang luar negeri.

Indonesia perlu berhati-hati dalam menerapkan rezim nilai tukar agar tidak terlalu kaku dan dapat menyesuaikan dengan kondisi ekonomi global.

Meskipun Indonesia saat ini menganut rezim nilai tukar mengambang terkendali, Indonesia harus tetap waspada terhadap guncangan eksternal seperti kenaikan suku bunga di negara-negara mitra dagang utama yang dapat memperburuk beban utang luar negeri, meskipun nilai tukar rupiah tidak terpaku secara kaku.

Kedua, risiko besar akibat masuknya arus modal jangka pendek atau hot money yang berlebihan sebelum krisis.

Aliran modal ini memicu euforia di negara-negara Amerika Latin, namun justru meningkatkan kerentanan saat terjadi pembalikan arus modal secara tiba-tiba.

Pembalikan ini diperparah oleh imbal hasil yang lebih menarik di AS akibat kenaikan suku bunganya. Indonesia harus mewaspadai arus modal semacam ini agar tidak menimbulkan lubang besar di sistem keuangan saat terjadi pelarian modal.

Ketiga, kombinasi buruk dari utang luar negeri membengkak, kenaikan suku bunga global, dan jatuhnya harga komoditas akibat resesi dunia saat itu menenggelamkan Amerika Latin ke dalam krisis utang luar negeri yang berkepanjangan hingga diselesaikan melalui Brady Plan pada 1989.

Pelajaran ini mengingatkan Indonesia untuk terus menjaga keseimbangan eksternal, kesinambungan fiskal, dan ketahanan ekonomi untuk mencegah krisis utang luar negeri serupa.

Pengelolaan risiko dengan kehati-hatian menjadi kunci agar rupiah dapat tetap stabil dan ekonomi Indonesia terjaga daya tahannya.

Krisis mata uang gerasi kedua

Krisis mata uang generasi kedua menggambarkan fenomena krisis keuangan yang melanda berbagai negara pada dekade 1990-an.

Krisis ini jauh lebih parah dan kompleks dibandingkan krisis mata uang sebelumnya. Salah satu contoh terkenal adalah krisis peso Meksiko yang meletus pada tahun 1994-1995.

Pada awalnya, Meksiko dianggap sebagai pasar ekonomi baru yang menjanjikan setelah bergabung dengan perjanjian perdagangan bebas NAFTA bersama Amerika Serikat dan Kanada.

Negara ini melakukan deregulasi dan privatisasi besar-besaran untuk meningkatkan daya saing sebagai produsen berbiaya rendah. Kondisi ini menarik banyak investor asing untuk menanamkan modalnya di Meksiko.

Namun di balik euforia tersebut, terselip sejumlah kelemahan mendasar dalam perekonomian Meksiko. Defisit transaksi berjalan yang terus membengkak, sama seperti yang terjadi pada awal 1980-an, menjadi salah satu kerentanan utama.

Keadaan ini memicu spekulasi di kalangan pelaku pasar bahwa sistem nilai tukar tetap peso terhadap dollar AS tidak lagi berkelanjutan.

Tekanan eksternal yang semakin besar akhirnya memaksa Meksiko melakukan devaluasi peso pada Desember 1994. Kendati devaluasi awal hanya sedikit, langkah ini justru memicu kepanikan di kalangan investor sehingga menimbulkan krisis berkepanjangan.

Akibat krisis tersebut sangat parah bagi Meksiko. Nilai peso anjlok lebih dari 50 persen terhadap dollar AS dalam waktu singkat. Ekonomi mengalami resesi hebat, diikuti kebangkrutan massal perusahaan dan krisis perbankan.

Untuk menghindari dampak lebih buruk, Meksiko akhirnya ditolong melalui paket bantuan dari Amerika Serikat, IMF, dan Bank Pembangunan Internasional.

Andai Meksiko benar-benar default, hal itu berpotensi mengancam eksistensi NAFTA dan memicu krisis keuangan regional seperti yang terjadi pada 1981-1982.

Pelajaran untuk Indonesia

Pengalaman Meksiko menunjukkan bahwa menjaga defisit transaksi berjalan dalam batas yang rendah dan berkelanjutan merupakan hal krusial.

Defisit yang membengkak akan membuat suatu negara rentan terhadap pelarian modal asing sewaktu-waktu. Kepercayaan investor sangat mudah goyah jika mereka melihat gejala ketidakseimbangan eksternal yang parah.

Salah satu faktor pemicu krisis peso Meksiko adalah kekhawatiran pelaku pasar terhadap membesarnya defisit transaksi berjalan negara tersebut.

Selain itu, rezim nilai tukar yang fleksibel terbukti lebih baik daripada sistem nilai tukar tetap yang kaku dalam menanggulangi gejolak eksternal.

Nilai tukar tetap cenderung menjadi sasaran empuk spekulan karena pemerintah harus mempertahankannya dengan mengorbankan cadangan devisa.

Sebaliknya, nilai tukar mengambang bebas akan membuat mata uang berfluktuasi sesuai kondisi pasar sehingga terhindar dari serangan spekulatif besar-besaran.

Pelajaran lain yang dapat diambil adalah pentingnya menjaga cadangan devisa yang memadai. Jumlah cadangan yang kuat akan meningkatkan kepercayaan investor bahwa suatu negara mampu membiayai kebutuhan impornya dan melunasi utang luar negerinya.

Pada saat krisis melanda, cadangan devisa yang besar akan memberi ruang gerak bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang diperlukan.

Secara umum, pengalaman Meksiko dan negara-negara lain yang terkena krisis mata uang generasi kedua menegaskan urgensi pengelolaan risiko eksternal secara hati-hati.

Ekonomi yang terbuka perlu diimbangi dengan fondasi makroekonomi dan sektor eksternal yang kokoh demi mencegah terjadinya krisis serupa di masa mendatang.

Krisis mata uang generasi ketiga

Krisis mata uang generasi ketiga terjadi secara mengejutkan di antara ekonomi Asia yang berkembang pesat.

Pada akhir 1997 dan awal 1998, lima negara Asia – Thailand, Malaysia, Korea Selatan, Indonesia, dan Filipina – mengalami kehancuran mata uang mereka yang disebabkan oleh arus keluar modal keuangan yang besar, yang kemudian memicu krisis mata uang saat nilai tukar tetap mereka runtuh.

Berbeda dengan krisis Amerika Latin, krisis Asia merupakan bagian dari krisis keuangan yang lebih luas yang menyebar ke seluruh dunia.

Sebelum krisis, beberapa orang meragukan keajaiban ekonomi Asia, namun sedikit yang memperkirakan bahwa kawasan ini akan mengalami krisis sebesar yang terjadi.

Pada malam sebelum krisis, inflasi di negara-negara ini rendah dan tidak ada defisit anggaran atau defisit neraca berjalan yang besar.

Era 1990-an kemudian disebut sebagai periode hiper-globalisasi karena investasi melonjak ke pasar berkembang, dan tidak ada tempat yang lebih cepat pertumbuhannya dibanding Asia.

Harga saham melonjak signifikan di paruh pertama 1990-an; di Thailand, Malaysia, dan Indonesia, harga saham naik 300 persen hingga 500 persen. Sektor real estate juga mengalami booming bersamaan dengan ekonomi yang tumbuh pesat.

Di banyak negara ini, perusahaan-perusahaan yang terdaftar memiliki properti dalam jumlah besar, sehingga booming real estate turut menyumbang kenaikan pasar saham.

Pada tahun 1996, arus masuk bersih ke ekonomi-ekonomi ini mencapai total 93 miliar dollar AS, terutama dari kreditor swasta dan investor portofolio yang didorong oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Deregulasi yang luas juga memungkinkan bank dan korporasi domestik mengakses pembiayaan asing untuk investasi domestik. Selain itu, nilai tukar mereka yang dipatok terhadap dollar AS membantu mendorong investasi masuk.

Namun, pada 1997, arus masuk bersih ini berbalik menjadi arus keluar sebesar 12 miliar dollar AS, terjadi perubahan sebesar 105 miliar dollar AS yang sekitar 11 persen PDB kolektif mereka.

Investasi langsung asing tetap konstan sekitar 7 miliar dollar AS, sehingga sebagian besar penurunan berasal dari modal jangka pendek atau ‘hot money’.

Pembalikan ini dipicu oleh kelemahan dalam sistem keuangan lima negara Asia tersebut. Meskipun tidak ada jaminan eksplisit dari pemerintah, sebagian besar bank memiliki koneksi politik. Sistem ‘kapitalisme kroni’ ini cenderung mengarah pada investasi yang berisiko.

Ketika investor kehilangan kepercayaan setelah terjadi gagal bayar di Thailand, mereka menarik uang mereka.

Setelah jatuhnya baht Thailand, para kreditor menjadi waspada terhadap kawasan ini, dan krisis keuangan Asia pun terjadi.

Mata uang Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Singapura turun nilainya sebesar 30 persen atau lebih dalam enam bulan. Nilai tukar rupiah Indonesia merosot lebih dari dua pertiga.

Negara-negara ini mengalami kejatuhan dramatis di sektor real estate dan pasar saham; harga saham turun antara 30 persen hingga 60 persen.

Penularan krisis ini menyebabkan investor menarik dana mereka dari pasar berkembang lainnya, termasuk Rusia, Turki, Brasil, dan Argentina.

Bahkan Amerika Serikat pun terkena dampaknya. Long-Term Capital Management (LTCM), salah satu hedge fund terbesar di dunia, perlu diselamatkan karena eksposurnya terhadap pasar negara berkembang.

Pelajaran untuk Indonesia

Krisis keuangan Asia 1997-1998 memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia tentang pentingnya memperkuat sektor keuangan dan perbankan.

Pertama, Indonesia perlu meningkatkan pengawasan dan regulasi terhadap industri perbankan agar praktik penyaluran kredit dilakukan secara hati-hati dan prudent.

Transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan bank dan korporasi juga harus didorong untuk mencegah terjadinya kroni kapitalisme yang memungkinkan investasi berisiko tinggi.

Selain itu, bank-bank perlu meningkatkan modal dan cadangan untuk mengantisipasi guncangan eksternal di masa depan.

Kedua, Indonesia harus bijak dalam mengelola aliran modal asing. Ketergantungan berlebihan pada investasi portofolio jangka pendek atau "hot money" yang mudah berbalik arah harus dibatasi.

Sebagai gantinya, Indonesia perlu mendorong investasi asing langsung (FDI) yang lebih stabil serta mengembangkan basis investor domestik yang kuat sebagai penyangga aliran modal keluar.

Langkah ini penting untuk menghindari tekanan besar pada nilai tukar rupiah akibat aliran modal deras keluar-masuk.

Ketiga, Indonesia harus mempertahankan fundamental ekonomi yang kuat dengan menjaga defisit fiskal dan utang pemerintah tetap rendah dan terkendali.

Kebijakan ekonomi makro yang disiplin dan kredibel dapat meningkatkan kepercayaan investor dan ketahanan dalam menghadapi guncangan eksternal di masa depan.

Penting digarisbawahi, pemerintahan di bawah kepemimpinan Prabowo nantinya perlu memberi perhatian khusus pada pengelolaan defisit anggaran dan utang luar negeri yang prudent.

Memang benar janji-janji kampanye kerap kali mendorong peningkatan belanja pemerintah dalam jumlah besar.

Namun fokus berlebihan pada kuantitas anggaran tanpa memperhatikan kualitas dan dampak jangka panjangnya dapat menjadi bumerang bagi perekonomian.

Defisit fiskal dan akumulasi utang yang terus membengkak akan membuat Indonesia rentan terhadap krisis kepercayaan investor seperti yang dialami Meksiko dulu.

Pelarian modal asing dapat terjadi sewaktu-waktu jika pelaku pasar menilai keberlanjutan fiskal kita diragukan.

Oleh karena itu, pemerintah di masa mendatang perlu mengutamakan konsolidasi fiskal yang kredibel, sembari terus berupaya meningkatkan produktivitas pengeluaran negara.

Anggaran sebaiknya difokuskan pada proyek-proyek berkualitas yang benar-benar mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang.

Reformasi struktural juga penting untuk memperkuat ketahanan dan daya saing perekonomian menghadapi gejolak eksternal. Langkah ini akan membantu mengendalikan defisit transaksi berjalan secara berkelanjutan.

Tentu tidak mudah untuk mengambil kebijakan fiskal yang ketat di tengah banyaknya tuntutan masyarakat.

Namun kepemimpinan yang visioner harus mampu menjelaskan urgensi langkah-langkah tersebut demi mencegah terulangnya krisis sistemik yang dapat memicu kesengsaraan lebih besar bagi rakyat ke depannya.

Kredibilitas Bank Indonesia

Terkhusus untuk otoritas moneter kita, Bank Indonesia harus bertindak secara kredibel. Ini terbukti penting dalam dekade-dekade krisis utang negara yang terjadi. Tindakan yang tidak kredibel dapat memperburuk situasi dan memicu kepanikan investor lebih lanjut.

Secara umum, Bank Indonesia perlu berhati-hati terhadap kerentanan ekonomi makro seperti defisit besar, utang luar negeri tinggi, dan sistem keuangan yang rapuh.

Kita juga harus waspada terhadap arus modal spekulatif jangka pendek yang dapat dengan cepat berbalik arah dan memicu krisis.

Langkah-langkah untuk memperkuat fundamental ekonomi, menerapkan kebijakan yang kredibel, dan membangun ketahanan sistem keuangan sangat penting untuk menghindari atau mengurangi dampak krisis mata uang di masa depan.

Meskipun optimisme penting, tetapi harus beralasan dan mempertimbangkan seluruh aspek ekonomi serta dampaknya bagi masyarakat.

Bank Indonesia tidak boleh hanya terfokus pada indikator-indikator makro saja, tetapi juga harus memperhatikan dampak kebijakan terhadap kesejahteraan rakyat.

Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia harus menjaga kredibilitas dengan menerapkan kebijakan yang konsisten, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Komunikasi yang baik dengan publik dan pasar keuangan sangat penting untuk membangun kepercayaan dan mencegah spekulasi yang berlebihan.

Namun, dalam mengejar stabilitas ekonomi, Bank Indonesia tidak boleh mengabaikan dampak kebijakan terhadap masyarakat, terutama kelompok rentan. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan pemerataan kesejahteraan harus menjadi prioritas utama.

Oleh karena itu, kebijakan Bank Indonesia harus dirancang dengan mempertimbangkan tidak hanya indikator makro, tetapi juga dampaknya terhadap lapangan kerja, daya beli masyarakat, dan akses terhadap layanan keuangan yang terjangkau.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Harga Bahan Pokok Jumat 28 Juni 2024, Harga Ikan Kembung dan Telur Ayam Ras Naik

Harga Bahan Pokok Jumat 28 Juni 2024, Harga Ikan Kembung dan Telur Ayam Ras Naik

Whats New
Mampukah IHSG Lanjut Menguat di Akhir Pekan? Simak Analisis dan Rekomendasi Sahamnya

Mampukah IHSG Lanjut Menguat di Akhir Pekan? Simak Analisis dan Rekomendasi Sahamnya

Whats New
Investor Nantikan Data Inflasi, Wall Street Naik Tipis

Investor Nantikan Data Inflasi, Wall Street Naik Tipis

Whats New
KCIC Tambah Titik Pemesanan dan Perpanjang Masa Berlaku Frequent Whoosher Card

KCIC Tambah Titik Pemesanan dan Perpanjang Masa Berlaku Frequent Whoosher Card

Whats New
Warga Italia yang Mau Pindah ke Pedesaan Bakal Diberi Insentif Ratusan Juta

Warga Italia yang Mau Pindah ke Pedesaan Bakal Diberi Insentif Ratusan Juta

Whats New
BSI Catat Pembiayaan Berkelanjutan Rp 59,19 Triliun Per Maret 2024

BSI Catat Pembiayaan Berkelanjutan Rp 59,19 Triliun Per Maret 2024

Whats New
KEK Nongsa Digital Park Bidik Target Investasi Masuk Indonesia Tembus Rp 40 Triliun

KEK Nongsa Digital Park Bidik Target Investasi Masuk Indonesia Tembus Rp 40 Triliun

Whats New
Gen Z Incar Pekerjaan yang Punya Jam Kerja Fleksibel

Gen Z Incar Pekerjaan yang Punya Jam Kerja Fleksibel

Whats New
Menkeu: Aturan Anti Dumping Produk Tekstil Menunggu Aturan Mendag dan Menperin Terbit Lebih Dulu

Menkeu: Aturan Anti Dumping Produk Tekstil Menunggu Aturan Mendag dan Menperin Terbit Lebih Dulu

Whats New
[POPULER MONEY] BASF dan Eramet Mundur dari Proyek Nikel-Kobalt Weda Bay | Smelter Terbesar di Dunia Freeport Indonesia di Gresik Resmi Beroperasi

[POPULER MONEY] BASF dan Eramet Mundur dari Proyek Nikel-Kobalt Weda Bay | Smelter Terbesar di Dunia Freeport Indonesia di Gresik Resmi Beroperasi

Whats New
Cara Isi Saldo DANA lewat ATM BRI, BCA, BNI, Mandiri, dan BSI

Cara Isi Saldo DANA lewat ATM BRI, BCA, BNI, Mandiri, dan BSI

Spend Smart
Cara Ajukan Laporan Gagal Setor Tunai di ATM via BRImo

Cara Ajukan Laporan Gagal Setor Tunai di ATM via BRImo

Spend Smart
Blibli Hadirkan Promo Belanja di Bliblimart, Ada Cashback Rp 100.000

Blibli Hadirkan Promo Belanja di Bliblimart, Ada Cashback Rp 100.000

Spend Smart
Emiten Travel Haji dan Umrah HAJJ Raup Pendapatan Rp 318,19 Miliar pada 2023

Emiten Travel Haji dan Umrah HAJJ Raup Pendapatan Rp 318,19 Miliar pada 2023

Whats New
Pendataan QR Code untuk Beli Pertalite Capai 100 Persen di 3 Provinsi

Pendataan QR Code untuk Beli Pertalite Capai 100 Persen di 3 Provinsi

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com