Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Pelemahan Rupiah dari Perspektif Tiga Generasi Krisis Mata Uang

Kompas.com - 16/06/2024, 10:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pengelolaan risiko dengan kehati-hatian menjadi kunci agar rupiah dapat tetap stabil dan ekonomi Indonesia terjaga daya tahannya.

Krisis mata uang gerasi kedua

Krisis mata uang generasi kedua menggambarkan fenomena krisis keuangan yang melanda berbagai negara pada dekade 1990-an.

Krisis ini jauh lebih parah dan kompleks dibandingkan krisis mata uang sebelumnya. Salah satu contoh terkenal adalah krisis peso Meksiko yang meletus pada tahun 1994-1995.

Pada awalnya, Meksiko dianggap sebagai pasar ekonomi baru yang menjanjikan setelah bergabung dengan perjanjian perdagangan bebas NAFTA bersama Amerika Serikat dan Kanada.

Negara ini melakukan deregulasi dan privatisasi besar-besaran untuk meningkatkan daya saing sebagai produsen berbiaya rendah. Kondisi ini menarik banyak investor asing untuk menanamkan modalnya di Meksiko.

Namun di balik euforia tersebut, terselip sejumlah kelemahan mendasar dalam perekonomian Meksiko. Defisit transaksi berjalan yang terus membengkak, sama seperti yang terjadi pada awal 1980-an, menjadi salah satu kerentanan utama.

Keadaan ini memicu spekulasi di kalangan pelaku pasar bahwa sistem nilai tukar tetap peso terhadap dollar AS tidak lagi berkelanjutan.

Tekanan eksternal yang semakin besar akhirnya memaksa Meksiko melakukan devaluasi peso pada Desember 1994. Kendati devaluasi awal hanya sedikit, langkah ini justru memicu kepanikan di kalangan investor sehingga menimbulkan krisis berkepanjangan.

Akibat krisis tersebut sangat parah bagi Meksiko. Nilai peso anjlok lebih dari 50 persen terhadap dollar AS dalam waktu singkat. Ekonomi mengalami resesi hebat, diikuti kebangkrutan massal perusahaan dan krisis perbankan.

Untuk menghindari dampak lebih buruk, Meksiko akhirnya ditolong melalui paket bantuan dari Amerika Serikat, IMF, dan Bank Pembangunan Internasional.

Andai Meksiko benar-benar default, hal itu berpotensi mengancam eksistensi NAFTA dan memicu krisis keuangan regional seperti yang terjadi pada 1981-1982.

Pelajaran untuk Indonesia

Pengalaman Meksiko menunjukkan bahwa menjaga defisit transaksi berjalan dalam batas yang rendah dan berkelanjutan merupakan hal krusial.

Defisit yang membengkak akan membuat suatu negara rentan terhadap pelarian modal asing sewaktu-waktu. Kepercayaan investor sangat mudah goyah jika mereka melihat gejala ketidakseimbangan eksternal yang parah.

Salah satu faktor pemicu krisis peso Meksiko adalah kekhawatiran pelaku pasar terhadap membesarnya defisit transaksi berjalan negara tersebut.

Selain itu, rezim nilai tukar yang fleksibel terbukti lebih baik daripada sistem nilai tukar tetap yang kaku dalam menanggulangi gejolak eksternal.

Nilai tukar tetap cenderung menjadi sasaran empuk spekulan karena pemerintah harus mempertahankannya dengan mengorbankan cadangan devisa.

Sebaliknya, nilai tukar mengambang bebas akan membuat mata uang berfluktuasi sesuai kondisi pasar sehingga terhindar dari serangan spekulatif besar-besaran.

Pelajaran lain yang dapat diambil adalah pentingnya menjaga cadangan devisa yang memadai. Jumlah cadangan yang kuat akan meningkatkan kepercayaan investor bahwa suatu negara mampu membiayai kebutuhan impornya dan melunasi utang luar negerinya.

Pada saat krisis melanda, cadangan devisa yang besar akan memberi ruang gerak bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang diperlukan.

Secara umum, pengalaman Meksiko dan negara-negara lain yang terkena krisis mata uang generasi kedua menegaskan urgensi pengelolaan risiko eksternal secara hati-hati.

Ekonomi yang terbuka perlu diimbangi dengan fondasi makroekonomi dan sektor eksternal yang kokoh demi mencegah terjadinya krisis serupa di masa mendatang.

Krisis mata uang generasi ketiga

Krisis mata uang generasi ketiga terjadi secara mengejutkan di antara ekonomi Asia yang berkembang pesat.

Pada akhir 1997 dan awal 1998, lima negara Asia – Thailand, Malaysia, Korea Selatan, Indonesia, dan Filipina – mengalami kehancuran mata uang mereka yang disebabkan oleh arus keluar modal keuangan yang besar, yang kemudian memicu krisis mata uang saat nilai tukar tetap mereka runtuh.

Berbeda dengan krisis Amerika Latin, krisis Asia merupakan bagian dari krisis keuangan yang lebih luas yang menyebar ke seluruh dunia.

Sebelum krisis, beberapa orang meragukan keajaiban ekonomi Asia, namun sedikit yang memperkirakan bahwa kawasan ini akan mengalami krisis sebesar yang terjadi.

Pada malam sebelum krisis, inflasi di negara-negara ini rendah dan tidak ada defisit anggaran atau defisit neraca berjalan yang besar.

Era 1990-an kemudian disebut sebagai periode hiper-globalisasi karena investasi melonjak ke pasar berkembang, dan tidak ada tempat yang lebih cepat pertumbuhannya dibanding Asia.

Harga saham melonjak signifikan di paruh pertama 1990-an; di Thailand, Malaysia, dan Indonesia, harga saham naik 300 persen hingga 500 persen. Sektor real estate juga mengalami booming bersamaan dengan ekonomi yang tumbuh pesat.

Di banyak negara ini, perusahaan-perusahaan yang terdaftar memiliki properti dalam jumlah besar, sehingga booming real estate turut menyumbang kenaikan pasar saham.

Pada tahun 1996, arus masuk bersih ke ekonomi-ekonomi ini mencapai total 93 miliar dollar AS, terutama dari kreditor swasta dan investor portofolio yang didorong oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Deregulasi yang luas juga memungkinkan bank dan korporasi domestik mengakses pembiayaan asing untuk investasi domestik. Selain itu, nilai tukar mereka yang dipatok terhadap dollar AS membantu mendorong investasi masuk.

Namun, pada 1997, arus masuk bersih ini berbalik menjadi arus keluar sebesar 12 miliar dollar AS, terjadi perubahan sebesar 105 miliar dollar AS yang sekitar 11 persen PDB kolektif mereka.

Investasi langsung asing tetap konstan sekitar 7 miliar dollar AS, sehingga sebagian besar penurunan berasal dari modal jangka pendek atau ‘hot money’.

Pembalikan ini dipicu oleh kelemahan dalam sistem keuangan lima negara Asia tersebut. Meskipun tidak ada jaminan eksplisit dari pemerintah, sebagian besar bank memiliki koneksi politik. Sistem ‘kapitalisme kroni’ ini cenderung mengarah pada investasi yang berisiko.

Ketika investor kehilangan kepercayaan setelah terjadi gagal bayar di Thailand, mereka menarik uang mereka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Targetkan Penjualan Tumbuh 'Double Digit', Begini Strategi Kimia Farma

Targetkan Penjualan Tumbuh "Double Digit", Begini Strategi Kimia Farma

Whats New
Cetak Rekor Terbanyak di Dunia, Haji Isam Borong 2.000 Ekskavator untuk Pertanian

Cetak Rekor Terbanyak di Dunia, Haji Isam Borong 2.000 Ekskavator untuk Pertanian

Whats New
Simak 5 Tips Investasi Hadapi Pasar Saham yang Lesu

Simak 5 Tips Investasi Hadapi Pasar Saham yang Lesu

Earn Smart
BASF dan Eramet Mundur dari Proyek Sonic Bay, Benarkah Bisnis Nikel di RI Tak Menarik?

BASF dan Eramet Mundur dari Proyek Sonic Bay, Benarkah Bisnis Nikel di RI Tak Menarik?

Whats New
Harga Bahan Pokok Jumat 28 Juni 2024, Harga Ikan Kembung dan Telur Ayam Ras Naik

Harga Bahan Pokok Jumat 28 Juni 2024, Harga Ikan Kembung dan Telur Ayam Ras Naik

Whats New
Mampukah IHSG Lanjut Menguat di Akhir Pekan? Simak Analisis dan Rekomendasi Sahamnya

Mampukah IHSG Lanjut Menguat di Akhir Pekan? Simak Analisis dan Rekomendasi Sahamnya

Whats New
Investor Nantikan Data Inflasi, Wall Street Naik Tipis

Investor Nantikan Data Inflasi, Wall Street Naik Tipis

Whats New
KCIC Tambah Titik Pemesanan dan Perpanjang Masa Berlaku Frequent Whoosher Card

KCIC Tambah Titik Pemesanan dan Perpanjang Masa Berlaku Frequent Whoosher Card

Whats New
Warga Italia yang Mau Pindah ke Pedesaan Bakal Diberi Insentif Ratusan Juta

Warga Italia yang Mau Pindah ke Pedesaan Bakal Diberi Insentif Ratusan Juta

Whats New
BSI Catat Pembiayaan Berkelanjutan Rp 59,19 Triliun Per Maret 2024

BSI Catat Pembiayaan Berkelanjutan Rp 59,19 Triliun Per Maret 2024

Whats New
KEK Nongsa Digital Park Bidik Target Investasi Masuk Indonesia Tembus Rp 40 Triliun

KEK Nongsa Digital Park Bidik Target Investasi Masuk Indonesia Tembus Rp 40 Triliun

Whats New
Gen Z Incar Pekerjaan yang Punya Jam Kerja Fleksibel

Gen Z Incar Pekerjaan yang Punya Jam Kerja Fleksibel

Whats New
Menkeu: Aturan Anti Dumping Produk Tekstil Menunggu Aturan Mendag dan Menperin Terbit Lebih Dulu

Menkeu: Aturan Anti Dumping Produk Tekstil Menunggu Aturan Mendag dan Menperin Terbit Lebih Dulu

Whats New
[POPULER MONEY] BASF dan Eramet Mundur dari Proyek Nikel-Kobalt Weda Bay | Smelter Terbesar di Dunia Freeport Indonesia di Gresik Resmi Beroperasi

[POPULER MONEY] BASF dan Eramet Mundur dari Proyek Nikel-Kobalt Weda Bay | Smelter Terbesar di Dunia Freeport Indonesia di Gresik Resmi Beroperasi

Whats New
Cara Isi Saldo DANA lewat ATM BRI, BCA, BNI, Mandiri, dan BSI

Cara Isi Saldo DANA lewat ATM BRI, BCA, BNI, Mandiri, dan BSI

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com