Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pola Subsidi BBM Saat Ini Dinilai Memperlebar Kesenjangan Sosial

Kompas.com - 01/09/2022, 21:45 WIB
Kiki Safitri,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai pola subsidi bahan bakar minyak (BBM) saat ini memperlebar kesenjangan sosial di masyarakat.

Dia menjelaskan, dalam Undang-undang dan juga regulasi, secara ekonomi subsidi diberikan untuk membantu daya beli masyarakat yang kurang berdaya atau masyarakat miskin.

Namun hal ini berbanding terbalik karena penyaluran BBM subsidi selama ini dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu.

Komaidi merinci, pengguna solar tercatat 74 persen dinikmati oleh angkutan darat dengan 80 persen dinikmati oleh kelompok kaya. Sementara pertalite, penerima manfaatnya adalah 70 persen pengguna kendaraan roda 4 dengan jumlah volume 29 juta kilo liter per tahun.

Baca juga: Menko Airlangga: Indonesia Butuh 600.000 Talenta Digital Per Tahun

“Artinya, pertalite diakses oleh orang yang memiliki mobil, yang secara definisi adalah orang kaya. 99 persen di antaranya pengguna mobil pribadi, 0,4 persen angkutan umum, 0,6 persen taksi online. Sementara untuk roda 2, 98 persen adalah kendaraan pribadi dan 2,2 persen merupakan ojek online,” kata Komaidi secara virtual, Kamis (1/9/2022).

Komaidi menyebut masyarakat yang berada di garis kemiskinan kota dan desa tidak mungkin membeli kendaraan. Sebab kata dia, masyarakat tersebut berpenghasilan Rp 500.000 per kapita per bulan. Uang itu hanya cukup untuk keperluan sandang dan pangan saja.

Berdasarkan data tersebut, maka ia menyimpulkan bahwa subsidi BBM yang selama ini diberikan tidak tepat sasaran.

Baca juga: Harga BBM Nonsubsidi Turun, Pengamat: Seperti Gimmick


“Pemilik mobil dan motor, keluar dari definisi garis kemiskinan yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 500.000 per bulan per orang (pendapatan), tidak mungkin bisa beli motor. Kesimpulannya, subsidi kalau polanya seperti ini akan menciptakan kesenjangan sosial yang semakin besar,” ujar dia.

Komaidi mengungkapkan, jika subsidi pada dasarnya diberikan untuk meningkatkan daya beli masyarakat miskin, maka pola subsidi yang selama ini dilakukan menjadikan masyarakat mampu pemilik motor dan mobil tak ubahnya seperti masyarakat miskin karena mendapatkan subsidi.

Di sisi lain, dengan kuota BBM yang semakin menipis dan anggaran yang terbatas membuat pemerintah memiliki beberapa opsi mengatasi masalah tersebut. Diantaranya menaikkan harga BBM bersubsidi, menambah kuota BBM, hingga memberlakukan pembatasan.

Baca juga: Harga BBM Bakal Naik, Simak Cara Cek Penerima BLT BBM Rp 600.000

Berdasarkan APBN 2022, terdapat 3 varibel dalam pembentukan struktur harga BBM. Tiga komponen tersebut dinilai memberatkan jika harga BBM subsidi tidak dilakukan penyesuaian. Mulai dari asumsi harga minyak dunia dari 63 dollar AS per barrel jadi di atas 100 dollar AS per barrel, tidak tercapainya lifting minyak, dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

“Tiga variabel ini menjadi pemberat, dalam pembentukan struktur harga BBM, karena harganya semakin mahal. Kalau tidak ada adjustment, pasti kebutuhan subsidinya akan naik signifikan. Di sisi lain, Indonesia sudah menjadi net importir sejak lama karena produksi di tanah air tidak mencukupi,” ungkapnya.

“Produksi dalam negeri, konsumsi totalnya per hari kalau kondisi normal (tidak pandemi) 1,5-1,6 juta barrel per hari. Produksi minyak hanya 600.000 barrel dan di kilang hanya 700.000-an per hari. Sehingga sebagian besar kita harus impor dengan harga international, dan kalau ini diberi subsidi akan cukup besar,” kata Komaidi.

Baca juga: Shell Juga Turunkan Harga BBM Per 1 September, Simak Rinciannya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com