JAKARTA, KOMPAS.com - Ancaman resesi global mulai memberikan tekanan terhadap perekonomian, termasuk Indonesia. Dampaknya pun merembet ke sektor ketenagakerjaan,
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) mulai terjadi. Per September tahun ini saja, sudah 10.765 pekerja terkena PHK. Namun, menurut Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) angka PHK ini masih lebih rendah dibanding pada 2020, awal pandemi Covid-19.
Dari catatan Kemenaker, PHK pada 2019 sebanyak 18.911 kasus. Kemudian melonjak menjadi 386.877 kasus pada 2020. Lalu, menurun menjadi 127.085 kasus PHK pada 2021. Angkanya kembali turun menjadi 10.765 kasus per September 2022.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker, Indah Anggoro Putri meminta untuk mengedepankan dialog sosial bipartit.
Tujuannya menghindari PHK di tengah dinamika perekonomian. Kemenaker juga siap mendampingi semua pihak dalam mencari win-win solution.
Baca juga: Dalih Cegah PHK, Pengusaha Minta Kemenaker Terbitkan Aturan Tidak Bekerja Tidak Dibayar
Sebagai upaya cegah PHK, pengusaha meminta kepada pemerintah untuk menerbitkan aturan jam kerja fleksibel agar perusahaan bisa memberlakukan asas "no work no pay" (tidak bekerja, tidak dibayar).
Usulan tersebut disampaikan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Anne Patricia Sutanto. Kata Anne, dengan aturan no work no pay, maka perusahaan bisa memberlakukan jam kerja minimal 30 jam seminggu.
"Saat ini undang-undang kita menyatakan 40 jam seminggu. Untuk mengurangi jumlah PHK agar fleksibilitas itu ada, dengan asas no work no pay, pada saat tidak bekerja," katanya di Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR RI, dan Kemenaker Selasa (8/11/2022).
Baca juga: Upah Minimum 2023 Naik di Tengah Bayang-bayang Badai PHK akibat Resesi
Hal senada juga disampaikan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Anton J Supit mengungkapkan, pemerintah bisa mempertimbangkan aturan yang menerapkan prinsip no work no pay.
Menurut dia, jika hal itu tidak diterapkan maka penurunan permintaan tidak mengimbangi biaya operasional perusahaan, termasuk pembayaran upah tenaga kerja.
"Kalau tidak ada (aturan itu) jika order kita turun 30-50 persen, untuk 1-2 bulan bisa ditahan, tapi kalau sudah beberapa bulan, bahkan sampai setahun, saya kira pilihannya memang harus PHK," ujar Anton.
Baca juga: Cegah PHK, Menaker: Kurangi Upah dan Fasilitas Pekerja Tingkat Direktur serta Manajer