Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dirut Bank Jago Arief Harris: Buat Apa Injek Gas Dalam kalau Tahu di Depan Ada Jurang...

Kompas.com - 14/08/2023, 12:46 WIB
Erlangga Djumena

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak ditetapkan sebagai Direktur Utama Bank Jago pada 25 Mei 2023 silam, baru kali ini Arief Harris Tandjung meluangkan waktu ngobrol santai dengan media, Jumat pagi pekan lalu (11/8/2023). Ia terlihat santai sambil mengajak sejumlah jurnalis berkeliling ruangan.

“Itu bukan kabut ya, Itu kualitas udara Jakarta yang memang lagi enggak bagus,” ucap dia sambil mengajak sejumlah wartawan melihat penampakan tikungan lintasan LRT Jabodebek yang sempat heboh, dari balik kaca ruang rapat direksi bank Jago lantai 46 di daerah Mega Kuningan.

“Kalau LRT sudah beroperasi dan pengguna mau beralih ke moda transportasi ini, udara Jakarta pasti lebih baik. Jadi, bukan hanya pemakaian kendaraan listrik, moda transportasi umum seperti ini akan memberikan dampak luar biasa bagi lingkungan,” kata penyandang gelar Sarjana Teknik Universitas Indonesia ini.

Jabatan direktur Utama Bank Jago merupakan pengalaman pertamanya memimpin langsung sebuah bank. Lebih dari 20 tahun berkarier di industri perbankan, Arief selama itu lebih dikenal sebagai direktur keuangan dan investasi atau wakil direktur utama.

Baca juga: RUPS Bank Jago Angkat Arief Harris Jadi Direktur Utama

Jejak kariernya mulai dari Bank Universal, Standard Chartered Bank, Danamon hingga BTPN sebelum akhirnya ikut melahirkan Bank Jago bersama bankir Jerry Ng dan Karim Siregar yang merupakan dirut Bank Jago sebelumnya.

Berbekal pengalaman di bidang finance, Arief dikenal sebagai “penginjak” pedal gas dan rem. Ia tahu kapan bank harus ekspansif dan kapan harus lebih selektif.

“Bagaimanapun, bank adalah bank. Bank tidak bisa tumbuh gila-gilaan tanpa memperdulikan risiko. Sebagai pengelola dana publik, bank mesti memiliki fundamental yang kuat dengan neraca keuangan yang sehat. Bank juga mesti untung dan tumbuh secara berkelanjutan demi merawat kepercayaan nasabah,” katanya ketika menjawab pertanyaan soal strategi pertumbuhan emiten berkode ARTO itu.

Prinsip sebagai bankir yang hati-hati dalam urusan fundamental dan neraca keuangan, tidak muncul secara tiba tiba. Arief belajar dari krisis ekonomi 1998 yang menumbangkan banyak bank dan mengubah lanskap industri. Bencana finansial ini mengubah pola pikir dia sebagai bankir.

“Tahun itu periode awal saya bekerja di bank. Setiap hari kita berpikir, apakah besok bank ini masih beroperasi,” kenangnya.

Tikungan lintasan LRT diambil dari ruang rapat Direksi Bank Jago di daerah Mega Kuningan.KOMPAS.com/ERLANGGA DJUMENA Tikungan lintasan LRT diambil dari ruang rapat Direksi Bank Jago di daerah Mega Kuningan.

Pikiran itu muncul karena dia melihat secara gamblang begitu parahnya arus kas dan neraca bank tempatnya bekerja. Dan tentu saja kondisi bank bank lain. Bank tumbang karena nasabah ramai mencairkan rekening secara bersamaan (rush).

Setelah krisis 1998, regulator melakukan sejumlah perbaikan, terutama aturan yang dapat meningkatkan daya tahan sebuah bank. Bankirnya pun berubah. Pelajaran ini membuat industri perbankan lebih tahan banting ketika datang Krisis 2008, Krisis 2014, dan terakhir pandemi Covid-19.

Setiap orang, terutama para bankir, punya kenangan masing-masing dari krisis perbankan tahun 1998. “Yang paling membekas buat diri saya sendiri adalah pentingnya tentang menjaga kesehatan bank, kualitas neracanya, dengan menjunjung tinggi manajemen risiko,” katanya.

Baca juga: 3 Tahun Bangun Fondasi, Kharim Siregar Pamit dari Bank Jago

Arief meyakini bahwa kemampuan bank menjalankan prinsip manajemen risiko yang terukur memberikan peluang lebih besar untuk meraih kesuksesan. Definisi risiko itu bermacam macam, mulai dari risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas dan reputasi. Konsistensi dalam menjalankan prinsip ini akan tercermin pada fundamental bank, neraca keuangan dan kinerja laba rugi.

“Bank memang harus tumbuh tapi tidak boleh gila-gilaan dengan mengesampingkan risiko. Buat apa kita injek gas dalam dalam kalau kita tahu di depan ada jurang. Buat apa kita terlalu agresif menyalurkan kredit, kalau tahun berikutnya kita malah sibuk bersih bersih NPL. Bagi kami, pertumbuhan memang penting, tapi dan fundamental juga sama pentingnya,” kata Arief.

Maka itu, Arief menegaskan, Bank Jago tidak mau “bakar uang” berlebihan demi akuisisi nasabah atau terlalu bablas dalam menyalurkan kredit demi mengejar pertumbuhan yang terlalu bombastis.

Ketidakhati-hatian dapat meningkatkan NPL, mengerek cost of credit dan pada akhirnya berdampak buruk ke neraca laba rugi. Jika terus merugi, modal bank bisa tergerus.

“Situasi ini yang kami hindari. Karena, kalau bank merugi dan modalnya tergerus, bank juga tidak bisa ekspansi. Itulah pentingnya pertumbuhan yang berkualitas,” katanya.

Sementara terkait kolaborasi Bank Jago dengan ekosistem GOTO, Arief melihat perkembangannya terus menggembirakan. Hal ini tercermin pada kontribusi jumlah nasabah Jago dari ekosistem GOTO yang sudah mencapai lebih dari 35 persen.
“Integrasi semakin dalam dan banyak produk atau fitur-fitur baru hasil kolaborasi. Progresnya sangat positif,” katanya.

Pada Semester I-2023, Bank Jago membukukan laba bersih sebesar Rp 41 miliar, naik 40 persen secara tahunan. Adapun total aset tumbuh 29 persen menjadi Rp 18,8 triliun. Peningkatan laba bersih ditopang penyaluran kredit senilai Rp 11,2 triliun, melonjak 54 persen. Rasio NPL gross berada di level 1,2 persen dan NPL net di level 0,2 persen.

Baca juga: Pendapatan Bunga Tumbuh Double Digit, Laba Bersih Bank Jago Melonjak 40 Persen

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com