ERA globalisasi dan perkembangan teknologi informasi menuntut pelaku bisnis, khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), untuk beradaptasi.
Transformasi digital menjadi kebutuhan pokok bagi UMKM, memungkinkan mereka menjangkau pasar lebih luas, melampaui batasan lokal hingga ke tingkat nasional dan internasional.
Namun, menilik data Kementerian Koperasi dan UMKM, realitas yang ada masih menunjukkan kesenjangan. Dari total sekitar 65 juta UMKM di Indonesia, hanya sekitar 17,25 juta atau 26,5 persen yang sudah terintegrasi dalam ekosistem digital.
Angka ini, meskipun menunjukkan perkembangan, masih jauh dari ideal, terutama mengingat tren masyarakat yang semakin beralih ke transaksi digital dalam kesehariannya.
Bank Indonesia telah berkomitmen mendukung transformasi digital UMKM dengan berbagai inisiatif. Salah satunya adalah melalui penciptaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) yang memudahkan transaksi pembayaran.
QRIS telah digunakan oleh lebih dari 16 juta merchant, di mana 90 persen di antaranya adalah UMKM.
Bank Indonesia juga mengimplementasikan kebijakan Merchant Discount Rate (MDR) sebesar 0 persen untuk usaha mikro yang menggunakan QRIS, memberikan keuntungan lebih kepada UMKM.
Namun, UMKM di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan. Pertama, banyak UMKM yang tidak memiliki kekuatan dalam penetapan harga.
Dalam lingkungan bisnis yang sangat kompetitif, mereka sering kali tidak memiliki kesempatan untuk bernegosiasi harga dengan pemasok. Ditambah lagi, pembelian persediaan menjadi terbatas oleh jarak dari toko mereka ke pemasok.
Kedua, sebagian besar UMKM masih menerapkan sistem manual dalam operasional. Mereka umumnya masih menggunakan pena dan kertas untuk mencatat penjualan.
Keterbatasan ini membuat mereka hanya bisa melakukan transaksi tunai dengan analisis persediaan dan penjualan yang terbatas.
Ketiga, akses ke modal kerja menjadi salah satu hambatan terbesar. Tanpa adanya skor kredit dan agunan, mendapatkan pinjaman modal kerja menjadi hampir mustahil.
Beberapa pemasok bahkan memberikan syarat pembayaran pinjaman yang terbatas kepada UMKM.
Keempat, UMKM sering kali hanya memiliki penawaran produk yang terbatas. Jangkauan produk mereka terbatas oleh kedekatan dengan grosir atau kunjungan oleh pemasar. Ditambah lagi, mereka tidak dapat menyediakan pembiayaan untuk pembelian pelanggan.
Kerja sama UMKM dengan bank juga bukan tanpa hambatan. Biaya integrasi UMKM sebagai nasabah seringkali tinggi bagi bank.