Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dirut Pertamina Ungkap Sederet Faktor yang Bikin Harga Energi Terbarukan Mahal

Kompas.com - 07/09/2023, 20:10 WIB
Yohana Artha Uly,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, ada sejumlah tantangan dalam mengembangkan energi baru terbarukan (EBT). Salah satunya persoalan harga energi terbarukan yang lebih mahal ketimbang energi berbasis fosil.

Menurutnya, kondisi ini memang menjadi dilema yang dialami dalam pengembangan energi terbarukan. Di mana semua negara mendorong penyediaan energi ramah lingkungan dengan harga yang murah, padahal saat ini biaya pengembangan energi terbarukan cukup mahal.

"Ketika kita berbicara tentang bahan bakar karbon, atau energi baru dan terbarukan, keseimbangan harga selalu menjadi prioritas utama kita, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia, bahkan mungkin di negara-negara lain di dunia, khususnya di negara maju," ujar Nicke dalam acara Indonesia Sustainability Forum di Park Hyatt, Jakarta, Kamis (7/9/2023).

Baca juga: Kurangi Jejak Karbon, UNTR Jajaki Bisnis Energi Terbarukan

Nicke menuturkan, persoalan harga tersebut tidak menyurutkan Pertamina untuk terus mengembangkan energi terbarukan. Pihaknya pun telah mengidentifikasi sejumlah faktor yang menyebabkan tingginya harga energi terbarukan guna mengetahui cara penanganannya.

Menurutnya, faktor pertama yakni teknologi yang belum memadai. Ia bilang, teknologi yang ada saat ini belum sepenuhnya bisa mendorong pengembangan energi terbarukan dengan optimal, alhasilnya produktivitas menjadi rendah dan harga jual menjadi mahal.

Nicke meyakini, jika teknologi semakin berkembang maka dapat mengurangi belanja modal perusahaan dalam memproduksi energi terbarukan. Hal ini tercermin dari pengembangan teknologi energi surya maupun tenaga angin.

"Kita dapat melihat bahwa teknologi solar panel dan teknologi tenaga angin selama 5-10 tahun terakhir dapat dikurangi sekitar 80 persen (biaya produksinya), dan itu bahan bakar rendah karbon," kata dia.

Baca juga: Pemanfaatan Energi Terbarukan Masih Jauh dari Target, IESR Usulkan Strategi Baru

Oleh sebab itu, ia menilai, menjadi hal penting untuk seluruh pihak terus mendorong pengembangan teknologi energi terbarukan.

Faktor lainnya, pengembangan ekosistem energi terbarukan. Nicke bilang, pengembangan energi terbarukan harus diikuti dengan terciptanya ekosistem yang mendukung, mulai dari ketersediaan bahan baku, sistem distribusi, hingga konsumen dari energi tersebut.

"Misalnya, tantangan distribusi hidrogen yang ramah lingkungan, bagaimana mendistribusikan hidrogen hijau ini. Ini juga tentang skala ekonomi. bisnis memerlukan skala ekonomi untuk memulainya, oleh karena itu diperlukan regulasi untuk menciptakan permintaan," jelas Nicke.

Baca juga: Bos Pertamina Sebut Kuota Elpiji 3 Kg dan Solar Subsidi Tahun Ini Bakal Jebol

Menurut dia, saat ini pemerintah berupaya mendukung energi terbarukan, salah satunya melalui mandatori penggunaan biodiesel. RI kini sudah menerapkan B35 yakni bahan bakar yang menggunakan pencampuran solar dengan olahan minyak mentah kelapa sawit sebesar 35 persen.

"B35 itu ada diamanatkan oleh peraturan, jadi permintaan pun meningkat secara bertahap," imbuhnya.

Faktor terakhir yakni adaptasi masyarakat terhadap penggunaan energi bersih. Menurutnya, perlu upaya untuk mendorong pemahaman publik, baik dalam hal ini produsen maupun konsumen, agar memahami pentingnya penggunaan energi terbarukan.

Pemahaman yang baik tentang energi bersih akan mendorong peran masyarakat untuk secara masif mendukung penggunaan dan pengembangan energi terbarukan.

"Jadi peralihan ke bahan bakar rendah karbon ini memang memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah dan juga sektor swasta, serta dukungan masyarakat dan investor keuangan," pungkas Nicke.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com