Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Cadangan Pangan Nasional yang Menggelisahkan

Kompas.com - 12/09/2023, 13:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERINGATAN awal krisis pangan akibat dampak krisis iklim telah ditandai pada 2022, dengan adanya bencana kelaparan di 10 negara di dunia.

Kesepuluh negara tersebut adalah Afghanistan, Burkina Faso, Djibouti, Guatemala, Haiti, Kenya, Madagaskar, Somalia, Nigeria, dan Zimbabwe.

Kondisi pada 2022 menunjukkan menguatnya berbagai parameter pemanasan global. Apa yang disaksikan pada 2023, bahkan lebih ekstrem lagi.

Pada Juli 2023, merupakan bulan terpanas yang pernah tercatat, dengan panas terik di banyak wilayah belahan bumi utara dan hal ini berlanjut hingga Agustus 2023 ini.

Dengan munculnya kembali fenomena El Nino pada 2023, suhu rata-rata global tahun ini diperkirakan akan melebihi rata-rata global pada 2022. Sinyal lebih panasnya suhu pada saat ini terlihat dari serangkaian gelombang panas pada 2023.

Dampak krisis iklim saat ini telah memukul sektor pangan dengan dahsyat. India menghentikan ekspor beras putih nonbasmati pada akhir Juli 2023.

Panen gandum Australia juga berdampak, menambah kekurangan pangan dan lonjakan harga yang disebabkan konflik antara Rusia dengan Ukraina.

Melihat tren saat ini, situasi iklim kedepan sepertinya bakal lebih suram. Selain menguatnya dampak langsung terhadap cuaca ekstrem, krisis pangan bakal lebih dalam.

Bagaimana dampak krisis iklim yang terus menguat terhadap cadangan pangan di Indonesia?

Krisis iklim sedikit banyak akan menggangu ketahanan pangan Indonesia, di tengah mahalnya harga pangan global.

Bila benar, prediksi ancaman kekeringan ikut menguat seiring prediksi El Nino yang berlanjut hingga Februari 2024; maka ketahanan pangan Indonesia akan makin tergerus.

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, cuaca ekstrem akibat perubahan iklim mengakibatkan beragam bencana dan kerugian ekonomi.

Indonesia terkena imbasnya. Ia memperkirakan kerugian ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 2020-2024 dapat menyentuh Rp 544 triliun jika tidak ada intervensi kebijakan (bussinnes as usual).

Dari jumlah tersebut, risiko kerugian ini berasal dari pesisir dan laut (Rp 408 triliun), diikuti pertanian (Rp 78 triliun), kesehatan (Rp 31 triliun) dan air (Rp 28 triliun).

Pertanian menjadi salah satu sektor yang paling terdampak perubahan iklim. Intervensi pemerintah diperlukan guna menekan kerugian petani, mulai dari kesenjangan hingga meminimalkan konversi lahan.

Meskipun pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian telah mengantisipasi bencana kekeringan panjang dengan mitigasi resiko yang akan timbul dengan berbagai macam startegi, nampaknya belum dapat menghalangi turunnya produksi pangan secara drastis dan gejolak naiknya harga pangan secara nasional khususnya beras yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia.

Cadangan beras nasional

Kendati masih ada panen padi di sejumlah daerah, harga gabah terus naik menjauhi harga pembelian pemerintah. Pengadaan gabah/beras untuk stok pemerintah dikhawatirkan tak optimal.

Berdasarkan Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (NFA), per Rabu (6/9/2023), harga rata-rata nasional gabah kering panen (GKP) di tingkat petani mencapai Rp 6.220 per kilogram (kg).

Dalam sebulan terakhir, harga rata-rata nasional GKP naik 12,68 persen. Kenaikan harga GKP berimbas pada harga beras di pasaran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com