Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anggito Abimanyu
Dosen UGM

Dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketua Departemen Ekonomi dan Bisnis, Sekolah Vokasi UGM. Ketua Bidang Organisasi, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia

Pelemahan Rupiah Berlanjut?

Kompas.com - 16/10/2023, 06:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BADAI ekonomi global belum mereda. Ketegangan Ukraina-Rusia belum melerai. Bahkan pertikaian Hamas-Israel semakin memperburuk ketidakpastian pasar keuangan global.

Pada Jumat 13 Oktober, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat ditutup melemah lagi. Sebenarnya sebelumnya mulai menguat, namun kemudian melemah lagi pada aklhir minggu.

Nilai tukar rupiah bertengger di Rp 15.727 per dollar AS pada Jumat (13/10) pagi. Mata uang Indonesia tersebut melemah 28 poin atau minus 0,18 persen dari posisi sebelumnya.

Bagaimana dengan mana uang di negara lainnya?

Pada Jumat minggu lalu, sebagian besar mata uang di kawasan negara Asia bergejolak di area merah. Won Korea Selatan, Peso Filipina, Baht Thailand dan Ringgit Malaysia melemah. Dollar Singapura dan Yen Jepang juga melemah terhadap dollar AS.

Berbeda dengan negara berkembang, negara maju mengalami apresisasi nilai mata uang. Nilai mata uang negara maju juga serentak menguat. Poundsterling Inggris dan dollar Australia menguat terhadap dollar AS.

Lalu, Euro Eropa mengalami plus, Dollar Kanada dan Franc Swiss masing-masing juga mengalami penguatan terhadap dollar AS.

Sentimen utama yang mendorong Rupiah dan mata uang negara-negara berkembang melemah adalah data inflasi September 2023.

Data yang dirilis oleh Biro Statistik AS melaporkan indeks harga konsumen tahunan tercatat sebesar 3,7 persen pada September 2023, tidak ada penurunan dari bulan sebelumnya.

Angka inflasi tahunan tersebut lebih tinggi daripada proyeksi ekonom global, yakni sebesar 3,6 persen.

Di AS, inflasi Agustus sempat melambat dari 0,6 persen menjadi 0,4 persen. Masih sama, penyebabnya terjadinya inflasi atau deflasi sebagian disebabkan oleh harga energi.

Sementara itu, inflasi inti bulanan, tanpa perhitungan volatilitas harga energi dan pangan, tetap stabil di angka 0,3 persen. Inflasi inti tahunan turun dari 4,3 persen menjadi 4,1 persen.

Data inflasi tersebut membuat pasar kecewa karena ekonomi AS masih diklategorikan “panas”. Kondisi ini bisa berujung pada ketatnya kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) ke depan.

Inflasi September masih di atas target sasaran The Fed, yakni 2 persen.

Dampak perkembangan Rupiah

Perlemahan Rupiah tentu akan memengaruhi inflasi yang bersumber dari impor. Inflasi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung menurun karena efektivitas kebijakan moneter dalam melakukan pengendalian inflasi, dan fungsi kebijakan fiskal sebagai “shock absorber” terutama terhadap kenaikan harga energi dan pangan global.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com