KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Labirin Konflik Kepentingan

Kompas.com - 02/12/2023, 07:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM pemilihan ketua rukun tetangga (RT) di beberapa perumahan, kandidat terpilih sering kali adalah orang yang itu-itu saja. Alasannya, kebanyakan warga enggan mengajukan diri dan khawatir terlibat dalam banyak masalah yang menambah kepusingannya.

Mengelola perumahan dengan beragam warga yang memiliki beragam kepentingan memang tidak mudah. Sebaliknya, memasuki tahun politik, kita melihat baliho-baliho bertebaran menampilkan wajah para tokoh yang memperebutkan kursi kepemimpinan.

Kita bisa bertanya, mengapa sedikit sekali yang berminat untuk mengelola perumahan warga yang kecil, tapi banyak orang berebut untuk mengelola daerah yang lebih luas dengan masalah yang pastinya jauh lebih kompleks?

Penulis buku-buku manajemen dan bisnis, Roger L Martin, pernah mewawancarai sejumlah direktur dan menanyakan alasan sesungguhnya mereka menjadi anggota dewan direksi perusahaan publik.

Hasilnya, tidak banyak responden menunjukkan motif mereka yang berhubungan dengan perlindungan para pemangku kepentingan dari tindakan buruk manajemen dan pelaku pasar.

Alasan yang paling umum, mereka tertarik untuk mempelajari industri yang belum terlalu mereka kenal. Selain itu, beberapa orang juga mengemukakan alasan yang berkaitan dengan kepentingan perusahaan mereka sendiri agar tetap aman dalam kemungkinan krisis kredit yang terjadi.

Ada juga yang tertarik dengan upah dan kompensasi yang menggiurkan, selain menikmati gengsi dari jabatan tersebut. Hal ini sejalan dengan penemuan Michael Jensen dan William Meckling pada 1976 yang mereka tuangkan dalam artikel berjudul Theory of the Firm.

Professional managers can’t be completely trusted to act in the interests of shareholders,” tulis mereka dalam artikel tersebut.

Demikian juga halnya dengan para direktur. Bahkan, direktur bisa memiliki konflik kepentingan yang lebih besar daripada manajer yang diawasinya.

Kita melihat ketika motivasi dan alasan pribadi lebih banyak mendasari kehendak para pemegang jabatan tinggi ini untuk bekerja dan berprestasi. Di sinilah, mereka mudah sekali tersesat dalam labirin motivasinya sendiri.

Hal tersebut tidak hanya terjadi pada para pemimpin bisnis, tetapi juga di area politik, pemerintahan, bahkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengatasnamakan kepentingan warga yang diwakilinya.

Memahami konflik kepentingan

Setiap seseorang melakukan tindakan yang memberi manfaat bagi dirinya atas nama jabatan yang dimilikinya, berarti ia telah masuk pada konflik kepentingan.

Konflik tersebut memiliki beragam bentuk, mulai dari menggunakan fasilitas kantor untuk urusan pribadi, sampai menerima hadiah atau pemberian dari pihak lain atas keputusan organisasi yang dilakukannya.

Memiliki bisnis sampingan selain dari pekerjaan utama di organisasi pun sebenarnya berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Oleh karena itu, banyak organisasi melarang karyawannya untuk memiliki bisnis sampingan. Paling tidak, karyawan wajib melaporkan bisnis sampingan yang dimiliki agar diketahui oleh organisasi.

Bentuk konflik kepentingan yang bersifat finansial berarti mendapatkan manfaat finansial dari pihak lain.

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman

Konflik kepentingan juga bisa yang bersifat konfidensial, seperti menggunakan data kelembagaan untuk kepentingan pribadi. Misalnya, memberikan data tersebut kepada anggota keluarga atau teman yang dapat memanfaatkannya.

Konflik kepentingan juga bisa bersifat relasional ketika mengambil keputusan untuk kepentingan hubungan pribadinya, baik kepada anggota keluarga, teman baik, maupun teman yang mempunyai hubungan khusus.

Banyak perusahaan membuat aturan yang melarang karyawan memiliki hubungan profesional dalam satu perusahaan untuk menghindari konflik kepentingan. Bahkan, ada juga yang melarang berkencan dengan rekan kerja karena dikhawatirkan berpotensi menimbulkan konflik.

Tentunya, bergerak dan beroperasi dengan bayang-bayang konflik kepentingan tidaklah elok. Karyawan atau masyarakat akan meragukan kredibilitas seorang pemimpin yang disinyalir memiliki konflik kepentingan.

Setiap langkahnya dicurigai memiliki agenda pribadi tertentu. Individu pun akan sulit bergerak bila ia memiliki potensi konflik kepentingan ini, entah karena kecurigaan dari pemangku kepentingan lain, atau beban harapan yang ditanggung dari lingkungan yang mengharapkan keuntungan posisinya.

Dalam situasi tatkala konflik kepentingan terasa oleh para karyawan, suasana kantor biasanya tidak lagi bersih dan govern. Gosip–gosip bertebaran. Karyawan pun sibuk mencari muka kepada pihak-pihak tertentu demi keuntungan pribadi, alih-alih memfokuskan energi untuk bekerja demi kemajuan organisasi. Situasi ini bisa mengikis rasa percaya, dan merusak reputasi secara perlahan-lahan.

Maju dalam transparansi

Kita sama-sama melihat bahwa kemajuan suatu bisnis atau lembaga tidak dapat terlepas dari rasa percaya dan integritas. Bila kita terjebak dalam situasi konflik kepentingan yang beredar secara simpang siur, mau tidak mau, kita perlu kembali meninjau aturan–aturan yang berlaku untuk memperbarui atau memperdalamnya.

Kita perlu mencari tahu bagaimana ketimpangan–ketimpangan yang terjadi dapat lolos dari aturan yang sudah ada. Temukan di mana celah–celah kebocoran terjadi dan apa yang dapat kita lakukan untuk menambalnya.

Dalam penyusunan aturan baru, kita perlu memasukkan kewaspadaan terhadap kemungkinan konflik-konflik samar mulai terjadi sebelum berkembang menjadi besar dengan membuat pagar–pagar peraturan yang lebih ketat lagi.

Kita juga perlu memikirkan mekanisme pelaporan whistle blowing dan cara mengamankan pelapor sehingga tidak terkena gejala “kill the messenger” yang menumbuhkan gerakan tutup mulut.

Transparansi mudah diucapkan, tetapi sangat sulit dibudayakan. Karenanya, komunikasi internal sangat dibutuhkan. Tak sebatas dengan komunikasi sehari–hari, kita juga perlu mengampanyekan hal ini secara masif sambil terus mewaspadai “lip service” yang tidak dipraktikkan.

Pimpinan perlu maju sebagai role model utama dalam melakukan transparansi ini untuk menunjukkan keseriusan organisasi dalam menjaga integritas.

Konsekuensi dari perilaku yang tetap muncul harus jelas dan tegas. Kita juga perlu melakukan evaluasi, bahkan ketika tidak terjadi apa-apa. Hal ini penting untuk memastikan apakah memang transparansi dan sistem yang ada sudah terbangun dan berjalan dengan baik, ataukah kita yang kurang jeli dalam menangkap fenomena yang terjadi di lapangan.

At a certain level of learning and understanding, right or wrong ain't the issue, but different interest.”?Toba Beta


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com