Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Disinggung Gibran, Seberapa Urgen "Greenflation" bagi Indonesia?

Kompas.com - 23/01/2024, 19:00 WIB
Rully R. Ramli,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Greenflation menjadi istilah yang belakangan ramai diperbincangkan publik usai disebut oleh Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, dalam gelaran Debat Kedua Cawapres akhir pekan lalu.

Istilah greenflation dikemukakan oleh Gibran ketika menyampaikan pertanyaan kepada Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD.

"Bagaimana cara mengatasi greenflation? Ini adalah inflasi hijau," tanya Gibran dalam gelaran Debat Kedua Cawapres, Minggu (21/1/2024).

Baca juga: Apa Itu Greenflation? Apa Dampaknya dan Bagaimana Solusi Pencegahannya?

Secara sederhana, greeninflation merupakan terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan kenaikan biaya sejumlah komoditas yang terjadi akibat proses transisi ke energi ramah lingkungan.

Lantas, sebenarnya seberapa penting greenflation bagi Indonesia?

Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan, Indonesia merupakan negara yang bergantung terhadap sumber daya energi berbasis ekstraktif.

Baca juga: Dibahas Gibran dan Mahfud, Green Inflation Dinilai Belum Jadi Isu di RI

Dengan demikian, upaya untuk melakukan transisi energi dari berbasis ekstratif menuju energi baru terbarukan (EBT) atau lebih bersih menjadi menantang bagi Indonesia.

Masih minimnya pemanfaatan EBT di Tanah Air, tentu akan membuat biaya pengembangan dan pemanfaatan energi ramah lingkungan itu menjadi lebih besar ke depan.

"Makanya ketika proses transisi energi ini kemudian dilakukan maka ada konsekuensi terutama dalam jangka pendek hingga menengah," kata Yusuf kepada Kompas.com, Selasa (23/1/2024).

Baca juga: Memahami Greenflation atau Inflasi Hijau

Salah satu konsekuensi yang dimaksud ialah kenaikan biaya barang untuk memenuhi proses transisi energi, di mana dalam hal ini disebut sebagai greenflation.

"Kenaikan harga akibat dari nilai investasi ataupun proses transisi energi yang dilakukan oleh pelaku usaha di bidang tertentu," ujar Yusuf.

Dihubungi terpisah, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, fenomena greenflation berpotensi terlihat dari pemanfaatan pembangkit listrik berbasis EBT.

Baca juga: Debat Panas Gibran dan Mahfud MD soal Green Inflation

Ia menyebutkan, pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT membutuhkan biaya investasi yang besar, di mana biaya itu akan mempengaruhi harga listrik yang harus dibayarkan oleh masyarakat.

"Jadi, PLTA skala besar itu kan investasinya mahal. Kemudian, produsen listrik dalam negeri (PLN) meneruskan biaya mahal itu kepada konsumen," tuturnya.

Meskipun berpotensi memicu kenaikan harga, greenflation disebut dapat diatasi dengan sejumlah langkah antisipatif.

Baca juga: Kementerian ESDM Ingin Harga Listrik dari EBT Makin Terjangkau

Yusuf menjelaskan, langkah pertama yang dapat dilakukan pemerintah ialah menyesuaikan solusi dengan karakteristik ekonomi berkembang, terutama dalam mengatasi kerentanan dan keterjangkauan.

"Ini mencakup implementasi jaring pengaman sosial dan program dukungan pendapatan yang ditargetkan untuk melindungi segmen populasi rentan dari dampak kenaikan harga," ujarnya.

Kemudian, dalam menghadapi hambatan akses teknologi dan biaya, negara berkembang dapat mengambil manfaat dari transfer teknologi, peningkatan kapasitas, dan model pembiayaan inovatif.

"Keterbatasan infrastruktur dapat diatasi dengan solusi inovatif seperti sistem energi terbarukan terdesentralisasi dan jaringan mikro, khususnya untuk mencapai daerah pedesaan dan komunitas terpencil," ucap Yusuf.

Baca juga: Pendanaan 9 Proyek EBT PLN Senilai Rp 51 Triliun Terhambat Aturan TKDN

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com