Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Timnas Amin: Indonesia Kuasai Nikel, Harus Bermental "Superpower"

Kompas.com - 25/01/2024, 14:11 WIB
Yohana Artha Uly,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas Amin) menilai, Indonesia memiliki kelemahan dalam mengatur pasar komoditas nikel. RI merupakan negara produsen nikel terbesar di dunia, tetapi tidak bisa mengatur fluktuasi harga dengan baik.

Dewan Pakar Timnas Amin Wijayanto Samirin mengatakan, tren harga nikel saat ini mengalami penurunan signifikan ketimbang komoditas unggulan RI lainnya, seperti CPO, batu bara, migas, maupun tembaga.

Sebagai gambaran, harga nikel di pasar global pada 22 Januari 2024 tercatat berada di level 16.036 dollar AS per ton, yang sekaligus menjadi terendah sejak April 2021.

Baca juga: Luhut Bantah Tom Lembong soal Tesla Tak Lagi Pakai Nikel

Padahal, kata Wija, sapaan akrabnya, Indonesia menguasai hampir 50 persen produksi nikel di dunia. Maka seharusnya, RI mampu mengatur harga nikel agar tidak anjlok.

"Indonesia menguasai hampir 50 persen produksi nikel. Artinya masa depan, dinamika dan perkembangan harga itu ada di tangan Indonesia," ujarnya dalam diskusi 'Dilema Hilirisasi Tambang: Dibatasi atau Diperluas?’ di Hotel Aone, Jakarta, Kamis (25/1/2024).

Ia pun membandingkan dengan yang dilakukan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Organisasi ini menguasai 30 persen produksi minyak mentah dunia, namun mampu mengatur pergerakan harga dengan menjaga antara pasokan dan permintaan.

Menurut Wija, OPEC selalu mencegah terjadinya kelebihan pasokan sehingga fluktuasi harga minyak mentah bisa diatur.

"Mereka (OPEC) membahas betul secara hati-hati, jangan sampai oversupply. Kalau oversupply sedikit dikurangi supaya harga naik. Mereka memerankan dirinya sebagai superpower. Nah, Indonesia dalam komoditi nikel juga harus memahami posisi itu," kata dia.

Ia memaparkan, sepanjang periode 2015-2022, ketika konsumsi nikel dunia naik sebanyak 1,1 juta ton, produksinya justru naik sebanyak 1,47 juta ton. Kenaikan produksi itu dengan hampir 100 persen kontribusi dari Indonesia.

Baca juga: Bicara Soal LFP, Bos Antam Tetap Optimis Kembangkan Nikel

Alhasil, RI berperan besar dalam membuat harga nikel menjadi turun signifikan, lantaran pertumbuhan permintaan yang lebih lambat daripada pertumbuhan produksi.

Maka dari itu, Wija menekankan, Indonesia perlu memiliki mentalitas sebagai negara adi kuasa dalam mengelola dan memahami pergerakan harga nikel dunia.

Menurut dia, RI tak bisa terlena dengan menggenjot produksi nikel dan melakukan ekspor, yang dalam jangka panjang justru akan merusak industrinya.

"Jadi mentalitas sebagai superpower itu harus kita miliki. Berpikir strategis jauh ke depan. Jangan sampai kita aji mumpung cepet-cepetan ngeduk, cepet-cepetan ekspor, tapi industri rusak," kata Wija.

Baca juga: Meneropong Masa Depan Baterai Lithium-ion Berbasis Nikel

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com