Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soroti LFP Vs Nikel dalam Debat Cawapres, Peneliti Indef Ungkap Regulasi RI Ternyata Tak Pro Nikel

Kompas.com - 22/01/2024, 20:00 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Center of Industry, Trade, and Investment dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menyoroti isu soal produk Lithium Ferro Phosphate atau LFP menggantikan nikel dalam industri kendaran listrik, yang disebut-sebut dalam debat kedua Cawapres pada Minggu (21/1/2024) lalu.

Dalam debat Cawapres tersebut, LFP disebut anti-nikel, yang mana teknologinya berasal dari China. 

Andry mengatakan, LFP mulai menjadi alternatif para pelaku usaha kendaraan listrik sejak tahun 2020, menyusul tingginya harga nikel. Sementara, dalam kondisi tersebut, ia menilai pemerintah tidak memiliki kebijakan yang pro nikel.

"2024 paling cepat pabrikan-pabrikan besar akan bergeser ke LFP, ini yang tidak dilihat oleh Indonesia dan celakanya regulasi kita tidak mengeklusifkan terkait dengan penggunaan baterai nikel di Indonesia," kata Andry dalam diskusi Tanggapan INDEF atas Debat Keempat secara virtual, Senin (22/1/2024).

"Tesla di Shanghai China di 3 factory Tesla itu sudah pakai LFP, Wuling juga LFP," sambungnya.

Baca juga: Gibran Sindir Cak Imin: Aneh, Timses Selalu Ngomong LFP, tapi Cawapresnya Enggak Paham

Andry mengatakan, regulasi yang diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya berupa percepatan ekosistem kendaraan listrik, namun tidak menekankan penggunaan kendaraan listrik dengan baterai berbahan dari nikel.

"Kalau semalam disampaikan bahwa dengan kata-kata argumen bahwa LFP itu adalah sesuatu yang anti nikel, sebetulnya regulasi kita tidak spesifikasi mengatur soal nikel," ujarnya.

"Semuanya kita hanya obral (Kendaraan listrik), itu yang dari regulasi sendiri tidak pro ke nikel," ucap dia.

Baca juga: Mahfud MD dan Cak Imin Kompak ‘Ngambek’ Usai Ditanya Gibran soal Greenflation dan LFP

Sebelumnya, Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka dan cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sempat saling sindir kala membahas rencana pengembangan lithium ferro-phospate (LFP).

Pada kesempatan itu, Gibran melempar pertanyaan ke Cak Imin terkait rencana paslon nomor urut 1 dalam mengembangkan lithium ferro-phospate atau LFP. Menurut Gibran, dalam berbagai kesempatan gagasan itu selalu digaungkan oleh Co-Captain Timnas Pemenangan Anies dan Cak Imin (Amin) Thomas Trikasih Lembong, atau yang akrab disapa Tom Lembong.

"Paslon nomor 1 dan timsesnya menggaungkan LFP, lithium ferro phosphate. Saya enggak tahu, ini paslon nomor 1 anti nikel atau bagaimana?" kata Gibran.

Baca juga: Jawaban Cak Imin Ditanya Gibran Apakah Anti Nikel: Eksplorasi Harus Pertimbangkan Sisi Sosial

 


Menurut Gibran, timses paslon 1 sering menyebut mobil listrik buatan asal Amerika Serikat, Tesla, tidak menggunakan nikel melainkan LFP.

Ia menilai, pembahasan LFP itu malah menyudutkan Indonesia yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, yang bisa dimanfaatkan untuk industri kendaraan listrik.

"Bicara LFP, dan bilang Tesla enggak pakai nikel, ini kan kebohongan publik. Mohon maaf, Tesla itu Pakai Nikel, Pak," kata Gibran.

"Indonesia itu adalah negara yang punya cadangan nikel terbesar sedunia. Ini kekuatan kita, ini bargaining (daya tawar) kita, jangan malah membahas LFP, itu sama saja mempromosikan produknya China," tambahnya.

Gibran pun menilai, menggaungkan LFP sama saja menunjukkan anti nikel yang menjadi sumber daya alam unggulan Indonesia.

"Intinya ada negara yang enggak mau pakai nikel. Nah itu loh Gus yang saya maksud, apakah Gus Muhaimin juga anti nikel seperti Pak Tom Lembong?" tutup Gibran.

Baca juga: Potensi Cadangan Nikel di Indonesia Masih Besar, 1,2 Juta Lahan Belum Digarap

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com