Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harga Nikel Turun, Mantan Mendag Lutfi: Jangan Mau Ditakuti-takuti...

Kompas.com - 30/01/2024, 08:05 WIB
Yohana Artha Uly,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Eks Menteri Perdagangan periode 2020-2022, Muhammad Luthfi menyebut masyarakat tidak perlu terlalu takut dengan pergerakan harga komoditas, khususnya nikel. Ia bilang, harga komoditas memang sudah sifatnya bergerak fluktuatif.

"Jangan kita terlalu mau ditakut-takuti oleh harga komoditas. Harga komoditas itu memang selalu berfluktuasi," ujarnya dalam Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas)  Talkshow: Blak-blakan Soal Mobil Nasional dan Polemik LFP vs Nikel di The East, Jakarta, Senin (29/1/2024).

Menurut Lutfi, saat ini nikel masih diminati pasar global sebagai salah satu bahan baku baterai.

Baca juga: Ramai Kendaraan Listrik Pakai LFP dan Nikel, Apa Perbedaannya?

Namun, Lutfi mengakui, bahwa sejak Indonesia menerapkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel di 2019, terjadi berbagai persoalan, salah satunya harga yang turun.

Ia pun menduga terjadinya penurunan harga nikel disebabkan oleh beberapa pedagang atau trader yang tidak suka komoditas itu dikuasai oleh pihak lain, terutama dari China.

Lantaran investor smelter di Indonesia sebagian besar adalah China, maka pihak lain terutama barat tidak menyukainya. Kondisi ini pun membuat harga nikel terus turun di London Metal Exchange (LME).

Sebagai gambaran, harga nikel di pasar global sempat berada di level 16.036 dollar AS per ton pada 22 Januari 2024, yang sekaligus menjadi level terendah sejak April 2021.

"Saya punya teori sendiri, ini ada orang yang enggak suka, emang sengaja dimatiin di London Metal Exchange," kata dia.

Kendati begitu, Lutfi bilang, dirinya tidak ingin terlibat lebih dalam pada spekulasi itu. Ia menerima bahwa pasar bergerak sebagaimana pasar itu sendiri, namun dia meyakini teori bahwa ada pihak yang berusaha mengontrol permainan pasar.

"Market is market, tapi bahwasannya ada orang-orang besar yang kepingin mengontrol permainan ini, itu teori tersendiri. Tapi, ya sudahlah, kita enggak usah ikut campur," ucapnya.

Lutfi mengatakan, RI yang kaya akan sumber daya alamnya harus dimanfaatkan dengan optimal untuk kepentingan nasional. Maka dari itu, dia menilai, Indonesia harus bersatu dan kompak dalam menguasai pasokan, teknologi, dan memahami permintaan pasar.

Ia menuturkan, saat ini RI memang baru memiliki suplai, sementara teknologi dan permintaan masih dikuasai oleh pihak luar, sehingga Indonesia hanya bisa melihat peluang pasar yang tersedia.

Baca juga: Timnas Amin: Indonesia Kuasai Nikel, Harus Bermental Superpower


Maka untuk bisa mencapai keseluruhan itu, diperlukan peran semua pihak agar Indonesia bertumbuh hingga menjadi pemain utama. Menurut Lutfi, proses ini tentunya tidak instan, alias membutuhkan berbagai tahapan dan jangka waktu yang panjang.

Upaya yang dilakukan pemerintah saat ini pun salah satunya melalui hilirisasi sejumlah komoditas, terutama nikel.

"Kita baru punya suplainya, teknologi dan demand-nya masih dikuasai oleh orang. Jadi kita baru bisa melihat pasar. Ini permainan, tidak bisa kita kuasai seperti menggigit cabai yang langsung terasa pedas, enggak bisa," kata dia.

"Untuk bisa menyelesaikan permasalahan Republik ini mesti terjadi sesuatu yang direncanakan dan dieksekusi dengan baik. Jangan terpancing terhadap seluruh yang instan, apalagi terprovokasi asing-asing yang mempunyai niatan jahat," tutup Lutfi.

Baca juga: Kontribusi Hilirisasi Nikel dan Kemiskinan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com