Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Timnas Amin Sebut Larangan Ekspor Nikel Bikin Terciptanya Monopoli

Kompas.com - 25/01/2024, 22:35 WIB
Yohana Artha Uly,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas Amin) menilai program hilirisasi nikel saat ini belum optimal. Bahkan dinilai ada indikasi monopoli karena komoditas nikel tersebut diolah di perusahaan smelter yang sebagian besar dimiliki oleh China.

Dewan Pakar Timnas Amin Wijayanto Samirin mengatakan, larangan ekspor bijih nikel membuat komoditas itu harus diolah di dalam negeri. Namun kata dia, smelter nikel di Indonesia saat ini mayoritas dimiliki perusahaan asing.

Alhasil kata dia, ekspor nikel kemungkinan terbesar dikirim ke China, sehingga Negara Tirai Bambu tersebut banyak menikmati keuntungan dari program hilirisasi nikel.

Baca juga: Cak Imin Sebut TKA Mendominasi di Proyek Hilirisasi, Luhut: Hanya 10-15 Persen

"Pelarangan ekspor itu, artinya semua nikel kalau mau keluar negeri harus lewat smelter. Sementara smelter-smelter ini dikuasai oleh perusahaan dari negara tertentu, dari Tiongkok (China)," ujarnya dalam diskusi Dilema Hilirisasi Tambang: Dibatasi atau Diperluas? di Hotel Aone, Jakarta, Kamis (25/1/2024).

"Maka hampir pasti nikel yang mereka proses itu akan diekspor ke Tiongkok. Artinya apa? Artinya ada monopoli," imbuh pria yang akrab dipanggil Wija itu.

Ia menuturkan, pada dasarnya larangan ekspor bijih nikel adalah kebijakan yang bagus karena menjadi langkah awal untuk mendorong hilirisasi. Namun di sisi lain kata dia, tanpa disadari justru mengembangkan monopoli.

Baca juga: Saat Luhut dan Bahlil Kompak Bantah Cak Imin soal Hilirisasi Ugal-ugalan...

Wija menyebut dengan harus masuknya bijih nikel untuk diolah di smelter sebelum akhirnya diperbolehkan ekspor, maka perusahaan smelter punya peluang besar untuk menetapkan sendiri harga beli nikel.

"Smelter ini begitu dominan, dia bisa memaksa harga. Kita produsen kecil mau menjual keluar (ekspor), enggak bisa, harus lewat smelter, ya harganya harus kita terima berapa pun," kata dia.

Maka dari itu, lanjut dia, jika paslon nomor urut 1 terpilih dalam Pilpres 2024 mendatang, bakal dilakukan sejumlah perbaikan dalam program hilirisasi. Nantinya, hilirisasi akan dilanjutkan dengan didorong menuju industrialisasi.

Ia mengatakan, dalam mendorong hilirisasi, nikel merupakan sektor unggulan atau "front runner". Dengan demikian, akan dilakukan perbaikan pada platform dan format hilirisasi nikel agar menjadi acuan yang tepat bagi hilirisasi komoditas lainnya.

Baca juga: Cak Imin Sebut Hilirisasi Ugal-ugalan, Luhut: Saya Pengen Undang ke Morowali, Seeing is Believing

"Kalau ini enggak benar (hilirisasi nikel), yang lain ngikutin, bisa berabe kita. Jadi kita harus perbaiki platform-nya," ucapnya.

Wija memaparkan, pada sisi ESG atau environment, social and governance, industri hilirisasi nikel harus memiliki perhatian yang kuat terhadap aspek lingkungan. Sebab, jika dampak lingkungan tidak diperhitungkan dengan baik, yang ada justru kerugian.

Kemudian harus memperhatikan pula penyerapan tenaga kerjanya, terutama antara pekerja asing dan lokal. Persoalan tenaga kerja ini mencakup perihal gaji, legalitas, serta rekrutmen antara pekerja profesional dengan low skill.

Baca juga: Hilirisasi Disebut Akan Ciptakan Green Jobs, Apa Saja?

Selain itu, dia menilai perlu juga melakukan perbaikan tata kelola (governance) dalam hilirisasi, terutama terkait investasi asing. Menurut Wija, pemerintah tak bisa hanya fokus pada besarnya angka investasi asing (foreign direct investment/FDI) yang masuk ke RI, tetapi juga implementasi dari investasi tersebut.

Menurutnya, pelaku usaha punya potensi besar untuk melakukan "markup" agar seolah-olah nilai investasinya besar, sehingga bisa mendapatkan fasilitas pajak dari pemerintah. Seperti, tax holiday, di mana pelaku usaha dengan kriteria investasi tertentu bisa mendapatkan keringanan pajak.

"Kita jangan lupa, kalau investasi itu besar dan ternyata markup, bagaimana? Apakah ada proses audit untuk itu?," kata dia.

Baca juga: Apa Itu Hilirisasi yang Sering Disebut-sebut dalam Debat Capres-Cawapres 2024

"Karena penjual dan pembeli mesin itu adalah related parties. Kalau di markup, angkanya memang gede, tetapi kita rugi. Kenapa? Karena ketika capex-nya (belanja modal) melampaui batas angka tertentu, tax holiday yang diberikan juga akan lebih besar. Sehingga taxable income turun, potensi penerimaan pajak pemerintah juga turun," papar dia.

Terkait insentif pajak tersebut, Wija pun menilai tidak perlu insentif pajak yang sedemikian masif dalam sektor tambang, khususnya nikel, sebab Indonesia memang menguasai sumber dayanya.

"Rasanya tidak perlu tax incentive yang sedemikian masif untuk mendatangkan investor," pungkasnya.

Baca juga: Cak Imin: Hilirisasi Dilakukan Ugal-ugalan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com