SKOR Global Food Security Index (GFSI) atau Indeks Ketahanan Pangan Global Indonesia hingga tahun 2022 masih cenderung rendah.
Hal demikian menjadi petanda (signifier) kuat bahwa urusan pangan Indonesia masih jauh dari kondisi stabil/aman (secure) seperti diharapkan.
Di tahun 2022, skor GFSI Indonesia mencapai 60,2 (Economist Impact, 2022). Nilai tersebut berada di bawah rata-rata GFSI dunia yang berada pada kisaran 62,2.
Bahkan, nilai demikian juga berada di bawah rata-rata GFSI Asia Pasifik yang menyentuh 63,4.
Dengan skor GFSI 60,2 di tahun 2022, Indonesia berada di posisi 63 dari 113 negara dunia. Sementara, untuk lingkup Asia Pasifik, Indonesia menempati posisi ke-10 dari 23 negara.
Lebih rendah ketimbang tiga negara tetangga: Vietnam di urutan ke-9, Malaysia di posisi ke-8, dan Singapura yang menempati urutan ke-5 terbaik di region Asia Pasifik.
Jika dibandingkan dengan skor GFSI 2021 (59,2), terdapat peningkatan sebesar 1,7 persen. Peningkatan GFSI Indonesia di tahun 2022 ditandai dengan perbaikan (improvement) sejumlah variabel IKPG.
Pada aspek keterjangkauan (affordability) pangan misalnya, terjadi kenaikan skor: dari 74,9 poin di tahun 2021 menjadi 81,4 (2022).
Demikian juga halnya dengan aspek kualitas dan keamanan pangan yang bergeser dari 48,5 poin di tahun 2021 menjadi 56,2 poin (2022). Lalu, aspek keberlanjutan dan adaptasi produksi pangan pun meningkat dari 33 poin di tahun 2021 ke 46,3 poin (2022).
Namun, terlepas dari segala peningkatan tersebut, terdapat satu variabel substansial ketahanan pangan yang justru menurun. Yaitu: aspek ketersediaan (availability) pangan.
Dibanding tahun 2021 (63,7 poin), skor ketersediaan pangan Indonesia di tahun 2022 turun signifikan menjadi 50,9 poin. Hal tersebut patut menjadi perhatian (concern) bersama.
Salah satu indikator penting terkait aspek ketersediaan pangan adalah produksi pangan domestik (Bapanas - Kementan RI, 2020). Penurunan skor pada aspek ketersediaan pangan, dengan demikian, berkelindan erat dengan kemampuan produksi pangan domestik.
Dalam jangka panjang, situasi demikian akan menempatkan Indonesia pada situasi yang semakin pelik. Keputusan impor komoditas primer, sebut saja, akan semakin kuat urgensinya.
Lebih konkret: derajat opsi impor potensional tidak lagi diletakkan pada kepentingan menambal kekurangan produksi pangan dalam negeri. Namun, boleh jadi malah diposisikan sebagai sumber utama stok pangan nasional.
Konsekuensinya, di tengah transformasi pangan dari fungsi asal sebagai makanan ke arah komoditas kapitalistik dan–bahkan–instrumen politik seperti diungkap Mcmichael (2020), determinasi impor yang terus meningkat tentu adalah persoalan serius.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya