Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penerimaan Pajak Konsumsi Terkontraksi 16,1 Persen

Kompas.com - 28/04/2024, 23:58 WIB
Nur Jamal Shaid

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Otoritas pajak perlu mencermati kondisi perekonomian Indonesia yang bisa menggerus penerimaan pajak pada tahun ini.

Hal ini dikarenakan faktor daya beli masyarakat dan penurunan harga komoditas akan menjadi tantangan kantor pajak dalam mencapai target yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.

Misalnya saja, untuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) hanya terkumpul Rp 155,79 triliun. Angka ini turun 16,1 persen dibandingkan periode sama pada tahun lalu sebesar Rp 185,7 triliun.

Baca juga: Catat, 7 Strategi Punya Rumah untuk Milenial dan Gen Z

Begitu juga dengan kinerja PPN Dalam Negeri (DN) yang secara neto mengalami kontraksi sebesar 23 persen. Padahal, jenis pajak ini menjadi kontribusi terbesar dalam penerimaan pajak periode laporan.

Kontraksi ini disebabkan adanya peningkatan restitusi pada sektor industri pengolahan, perdagangan dan pertambangan terutama yang berasal dari kompensasi lebih bayar tahun-tahun sebelumnya.

"Ini harus kita lihat secara hati-hati. Artinya ada koreksi yang mempengaruhi penerimaan negara. Koreksi dari kegiatan ekonomi, apakah dari sisi harga komoditas mapupun kegiatan ekonomi yang terefleksikan dalam penerimaan negara," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati belum lama ini.

Baca juga: Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

Di sisi lain, PPN impor juga terkontraksi sejalan dengan melemahnya aktivitas impor. Tercatat, secara bruto jenis pajak tersebut mengalami kontraksi sebesar 2,8 persen. Padahal pada periode yang sama pada tahun lalu masih tumbuh 23,7 persen.

Begitu juga secara neto, PPN impor terkontraksi 2,8 persen, padahal pada periode sama tahun lalu yang tumbuh 11,2 persen.

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto mengatakan terkoreksinya pertumbuhan PPN memang menjadi catatan yang perlu direspon dengan serius.

Baca juga: Melalui Transportasi Laut, Kemenhub Berupaya Wujudkan Konektivitas di Indonesia Timur

 

Hal ini dikarenakan porsinya terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan sangat besar, bahkan terbesar dibandingkan jenis pajak lainnya.

Memang, pemerintah menyebut alasan penurunan penerimaan PPN dikarenakan adanya restitusi. Hal ini didasarkan pada data penerimaan PPN secara bruto yang masih tumbuh positif yakni sebesar 5,8 persen.

Namun, menurutnya, perlu dilihat kemungkinan lain penyebabnya selain restitusi. Sebab, jika dibandingkan antara kinerja penerimaan PPN periode Januari hingga Maret 2024 dengan kinerja penerimaan PPN pada periode yang sama tahun 2023 juga mengalami penurunan.

Baca juga: Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Pada periode Januari hingga Maret 2023, penerimaan PPN secara bruto mampu tumbuh 34,7 persen dan pertumbuhan netonya lebih tinggi yaitu 67,3 persen.

"Artinya, tanpa adanya restitusi pun, kinerja penerimaan PPN masih lebih rendah dari tahun lalu. Hal ini menunjukkan bahwa selain masalah restitusi penerimaan PPN juga dipengaruhi oleh melemahnya transaksi perdagangan," ujar Wahyu kepada Kontan.co.id, Sabtu (27/4).

Menurutnya, hal ini disebabkan oleh adanya penurunan daya beli atau kinerja korporasi yang tertekan, baik korporosi yang bergerak di sektor perdagangan maupun manufaktur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com